BAGIAN 3
                                 MENGANTAR  PULANG GADIS MABUK

Hujan turun sangat derasnya. Seakan-akan ingin menenggelamkan bumi saja. Suaru gemeluruh disemua penjuru seperti bumi akan runtuh. Suara gemeluruh itu dengan derasnya mengiringi perjalanan kami saat mengantar Windi. Halilintar menyambar-nyambar sekenanya. Suara “Cetar! Cetarrr…!” seperti di atas kepala saja.  Basah kuyup seluruh tubuh tak kuhiraukan. Si biru tetap kutarik kencang. Berharap sampai tujuan. Windi juga tidak protes. Dia kelihatannya menikmati perjalanan. Mungkin dia menginginkan cepat sampai rumahnya.
Rangkulan tangan Windi ke perutku semakin kuat. Aku semakin grogi dan deg-degan. Perasaan antara risih dan senang bercampur. Tidak hanya rangkulan tangan Windi yang dikencangkan, tetapi tubuhnya kadang dibenamkan di punggungku. Dia mendekap erat tubuhku. Degup jantungku semakin kencang dan tak menentu. Tubuhku menggigil bukan karena air hujan tetapi karena gemetar tubuhku dirangkul windi.
 “Mas, berhenti!” teriak Windi tiba-tiba.
“Ya, Mbak! Ada apa?”
Aku tersentak kaget.
“Kita sudah sampai Mas!”
“Oh iya, Mbak!”
Denga cepat kuinjak rem si biru. Aku hentikan Si biru di depan ruko sebelah utara Penthol Blaru. Benar juga, Kami  sudah sampai Pati. Cepat benar perjalanan kami. Hingga tak terasa sudah sampai Penthol Blaru.
“Alhamdulillah, hujan telah berangsur berhenti!” batinku.
“Turun sini, Mbak!” Tanya Ipung.
“Iya, Mas!”
“Turun, Pung!”
“Ini udah turun, Kang!”
Ipung turun dari motor kemudian disusul Windi. Sementara aku masih duduk di punggung si biru. Lewat lampu kota aku pahamkan wajah  Windi. kumengamati  gadis ini dari ujung kaki hingga rambut. Windi memang seorang gadis yang sangat cantik. Hidungnya mancung. Kulitnya putih. Wajahnya bulat telur. Kulihat jari-jari tangannya lentik-lentik. Umurnya kira-kira 18 tahun. Tubuhnya yang basah menambah kecantikannya. Sungguh mempesona. Mengapa gadis secantik ini harus bergaul dengan orang-orang yang tidak benar?
Windi melangkah pergi. Dia meninggalkan aku dan Ipung begitu saja tanpa ada ucapan terima kasih. Aku maklum. Mungkin pikiran Windi masih bingung gara-gara mabuk tadi. Aku pun tidak sakit hati karena aku menolong demi kemanusian bukan karena imbalan. Aku menolong dia ikhlas lahir batin.
“Kang, dia berlalu begitu saja!” bisik Ipung.
“Biarkan saja Pung, Kita menolong secara ikhlas!”
“Ya, Paling tidak mengucapkan terima kasih apa kek! Atau apa kek!”
“Orang itu berbeda-beda, Pung! Ada orang yang kita tolong selalu ingat kita. Ada orang yang kita tolong yang tidak ingat. Ada lagi orang yang kita tolong malah merugikan kita dengan merampas hak kita atau merusak milik kita, misalnya.
“Heh, heh, Pung! Windi balik kesini!”
“Iya, Kang!”
Setelah beberapa langkah rupanya Windi kembali. Kelihatannya dia akan mengucap sesuatu. Namun, kata-kata itu dia urungkan. Windi menatapku.  Namun, aneh aku tidak membalas tatapan itu. Aku melempar pandanganku kepada gafura yang disangga 2 tiang berdiri gagah melingkari jalan. Windi menatapku  agak lama. Seperti tatapan orang yang akan berpisah lama saja. Aku tidak tau apa maksudnya..
“Terima kasih ya, Mas sudah mengantar Windi!” kata Windi dengan mengulurkan tangan kanannya kepadaku.
“Iya Mbak, sama-sama!” jawabku.
“Terima kasih ya, Mas!” kata Windi kepada Ipung dengan menjabat tangan Ipung. “Maaf tadi saya akan lupa menyampaikan terima kasih pada kalian berdua.
“Ya, sama-sama!” jawab Ipung!”
“Tidak apa-apa, Mbak!” kataku.
Aku antar sampai rumah ya, Mbak!” Ipung mencoba menawarkan jasa.
“Tidak usah ah Mas, terima kasih..!”
Windi menoleh ke arahku. Matanya  menatap tajam lagi. Tatapan matanya kali ini sangat lekat ke mataku sampai mampu masuk dan menusuk hatiku yang paling dalam. Kedalaman tatapan matanya mampu mengoyak perasaanku. Ada sedikit gemetar rasa hati.
“Windi pulang dulu, Ya !”
Sebelum dia beranjak pergi dia meninggalkan senyum kepadaku.
“Mbak Windi yakin mampu pulang sendiri?” kataku untuk menahan langkahnya. Karena tiba-tiba hatiku tak merelakan  Windi cepat pergi meninggalkan kami.
“Tenang saja Mas, rumah Windi dekat kok!” Kata Windi dengan membalikkan tubuhnya ke arah kami.
“O, begitu..!” jawabku agak gugup.
“Rumah Mbak, sebelah mana?” tanya Ipung.
“Tuh…, di belakang ruko ini! Sekali lagi terima kasih ya, Mas!”
Kelihatannya Windi juga tidak ingin cepat beranjak pergi meninggalkan kami.
“Sama-sama, Mbak!” jawabku dan Ipung hampir bersamaan.
Sejujurnya aku ingin mengenalnya lebih jauh. Namun, Aku tidak punya alasan untuk dapat menahan kepergian Windi. Tiba-tiba aku jadi grogi berhadapan dengan gadis yang baru aku kenal ini. Aku jadi kaku. Mulutku juga kayak dikunci.
 Windi melangkahkan kaki meninggalkan kami. Dia menuju rumah besar kuno yang berpekarangan luas. Langkah kaki Windi kelihatannya memberat untuk meninggalkan kami. sesampai di depan pintu, Windi melempar senyum kepada kami. Sorot matanya menatap tajam dan dalam ke mataku. Aku balas tatapan matanya. Kami menatap sesaat. Ada kekuatan yang menarikku untuk melangkah menuju Windi namun kekuatan itu mampu aku halau. Aku tersenyum. Windi pun tersenyum. Dia melambaikan tangan. Kemudian dengan perlahan dia membuka pintu rumahnya dan masuk ke dalam. Tubuhnya hilang berbarengan matinya lampu-lampu penerang rumah itu.
“Ayo, pung kita langsung ke Mlawat!”
“Iya, Kang!”
Ipung memutar balik si biru. Setelah melewati Penthol Blaru, Ipung menarik si biru dengan Kencang. Suara si biru meraung-raung di tengah malam.
“Pung, kita berhenti dulu!”
Kataku setelah sampai Desa Karaban.
“Ada apa, Kang!”
 “Pung! Aku masih kepikiran Windi dan rumah joglo itu.”
“Dasar thok mis, ada gadis cantik lansung jatuh cinta!”
“Bukan itu, Pung!”
“Alah…, ngaku saja kalau kamu jatuh cinta sama Windi. Hahahah….! Dari cara menatap kamu tadi jelas-jelas kamu terpesona sama gadis mabuk itu.
“ Gini lo, Pung! Kamu merasakan ketidakwajaran kejadian malam ini apa tidak?
“Maksud ketidak wajaran gimana? Aku sih wajar. Aku masih normal. Kamu yang tidak wajar. Dasar thok mis ya thok mis!”
“E, seng tok mis sopo? Aku tahu kamu suka sama Windi, cuman kamu takut kalau Windi itu hantu? Ha ha ha…! Katanya pendekar kok takut hantu. Cemen…!”
“Siapa yang takut hantu. Aku tidak takut, cuman….!
“Cuman, apa?!
“Ya, cuman….
“Dah kita kembali membahas Windi. Perasaanku belakang ruko itu kuburan. Tetapi mengapa ada rumah di situ?”
“Tidak kuburan a, Kang! Kuburan itu sebelah timurnya a.
“Seingatku setelah ruko itu pekuburan. Sebelah timurnya baru ada rumah. Itu pun rumahnya tidak seperti rumah Windi. Di daerah rumah situ bangunannya dekat jalan tidak seluas pekarangan rumah Windi.
“Seingatku juga begitu Kang. Pekuburan itu sebelah timurnya. Bukan belakang ruko itu!”
“Belakang ruko, Pung!”
“Sebelah timurnya lagi, Kang!”
 “Kalu begitu, kita kembali ke tempat Windi! Siapa yang benar? Aku atau kamu!”
“Baik, kita kembali ke Pati!”


#Pak Guru Tops

#Pak Guru Top
#pakgurutop.blogspot.com 
#saryanisutopo.blogspot.com

Posting Komentar

 
Top