Janji
Setyowati
Oleh: Pak Guru Top
Kuhempaskan
tubuhku dibalai tanpa kasur. Aku mencoba memejamkan mata untuk menikmati
malamku. Aku ingin, malam ini bisa tidur
nyenyak. Berharap dapat mimpi yang indah yang bisa menyelesaikan masalahku.
Tapi, mata ini tak mau terpejam. Mata ini kancilen. Mata ini
terbayang-bayang wajah Setiyowati. Kata-kata Setiyowati selalu hadir dalam
otakku. Kata-kata Setyowati mampu mengusir rasa kantukku. Batinku selalu berdialog. Karuan tak tentu.
Kupandangi
sekeliling kamarku. Aku mencoba berdialog dengan hati kecilku yang paling
dalam. Apa mungkin aku dapat memenuhi keinginan Setyowati? Apa mungkin aku
dapat menanamkan kepercayaan kepada oaring tua Setiowati, sedang aku dengan
diriku sendiri saja tidak percaya? Kalau aku jadi kawin lari dengan dia,
bagaimana dengan aku, orang tuaku, orang-orang disekitarku? Dan bagaimana
dengan anak-anakku nanti?
Aku
hanya seorang pemuda yang miskin. Aku dapat lulus sekolah setingkat SMA karena
aku ikut Pak Yai. Itu aku sangat bersyukur. Orang tuaku sangat miskin. Orang
tuaku tidak mampu membiayai aku sekolah. Kemudian aku ikut Pak Yai Abdul Rahim.
Di situ aku bisa sekolah dan makan
gratis. Meskipun begitu, aku punya
cita-cita ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku beranggapan mungkin kalau
lulus perguruan tinggi aku dapat kesempatan bekerja yang lebih enak dan lebih
baik. Tidak seperti bapakku hanya seorang kuli. Karena cari pekerjaan sekarang ini sangat sulit.
Lebih-lebih hanya berbekal ijazah setingkat SMA. Kalau kepengen dapat pekerjaan
dan dapat duit banyak harus ke luar negeri jadi TKI.
Aku juga tidak mau nikah kalau belum dapat
kerjaan. Aku tidak mau seperti kakak perempuanku yang selalu mengeluh tiap hari
karena suaminya kerja serabutan. Kadang bekerja kadang tidak. Terus untuk makan
keluarga apa? Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sulit. Bagaimana
memperhatikan pendidikan anaknya? Ah, pengen hidup saja kog sulit begini.
Aku selalu berharap dapat meneruskan ke
perguruan tinggi. Aku ingin menyandang gelar sarjana walau aku ini bukan anak
orang kaya. Aku pengen dapat pekerjaan yang mapan agar aku bisa membantu orang
tua. Meringankan beban beliau. Kasihan bapakku. Umurnya sudah lanjut tetapi
harus bekerja untuk menutup kebutuhan rumah tangga keluargaku. Aku pengen orang
tuaku di rumah, menikmati masa tuanya. Biarlah aku yang menanggung beban
hidupnya.
Tetapi, aku terbawa oleh masalah Setyowati.
Dia ingin menikah dengan aku. Mana mungkin? Aku baru lulus Aliyah. Baru kemarin
aku diwisuda. Aku tidak punya apa-apa. Aku belum punya pekerjaan. Aku belum
punya penghasilan sama sekali. Terus modal apa yang aku pakai menikah? Dengkul?
Ya, itu yang aku punya. Apa dengkul bisa untuk mahar? Tidakkan?! Apakah dengkulku dapat diterima bapaknya Setyowati?
Mana mungkin? Malah bisa-bisa dengkulku yang dia lepaskan dari kakiku.
Memang aku akui aku cinta dengan Setyowati.
Setyowati juga cinta kepadaku. Cintanya
begitu tulus padaku. Setiyowati pernah mengatakan kepadaku, dia lebih baik mati
jika jadi dikawinkan dengan Karjo. Dia tidak cinta dengan Karjo. Dia tidak suka
kepada laki-laki pilihan orang tuanya itu. Jika aku tidak mau menikahi dia,
Setyowati akan bunuh diri. Kalau dia jadi bunuh diri, aku yang kena dosanya.
Aku bisa dipenjara. Wah, aku bisa masuk
neraka.
Setyowati
pernah menawarkan kepadaku setelah aku dan dia resmi nikah, dia akan bekerja ke
luar negeri menjadi TKW. Aku disuruh kuliah. Karena tekadku kepengin kuliah.
Uangnya nanti dikirim kepadaku untuk kuliah. Aku disuruh fokus kuliah. Aku
disuruh pilih tempat kuliah yang aku suka. Perguruan tinggi yang ternama sekali
pun. Dia yang akan nanggung biayanya. Gila! Menurutku ini ide yang gila. Mana
mungkin aku kuliah hasil dari keringat istriku? Dimana tanggung jawabku? Apa
menikah hanya simbul saja? Lalu kalau dia di lur negeri sedang aku di
Indonesia, pernikahan macam apa? Kalau materi tersedia tetapi batin tersiksa,
untuk apa?
Memang
aku ingin kuliah tapi bukan begini caranya. Aku ingin kuliah murni dari hasil
keringatku. Aku tidak mau dia yang susah-susah bekerja aku yang nikmati
hasilnya. Kepenginku, aku merantau dulu sambil kuliah. Sedang dia menunggu aku
sampai aku selesai kuliah, baru kita menikah. Aku pulang bawa uang, ijazah dan
dapat surat nikah.
Hubunganku
dengan Setyowati sudah cukup lama. Mungkin sudah ada kalau empat tahunan. Kita
resmi jadian waktu itu aku kelas 3 Mts. Sedang dia baru lulus SD. Walau dia
baru lulus SD, Setyowati sudah keliatan dewasa. Cara bicara, bersikap dan bahkan badannya seperti
gadis umur 17 an tahun. Jalan pikirannya dia juga kayak orang yang udah berumah
tangga. Kadang aku diberi nasehat-nasehat. Kayak emakku kalau menasehati aku.
Lucu. Maklumlah dia sejak kecil
ditinggal ibunya merantau di Malaysia. Dia anak yang paling besar. Tugas-tugas
rumah tangga dia yang menyelesaikan semua. Jadi, selain jadi anak dia menjadi
ibu untuk adik-adiknya.
Setelah
aku pergi ke pondok dan melanjutkan sekolah MA, hubunganku dengan dia lewat
surat. Kadang kalau saat liburan
semester aku pulang dari pondok, aku ke rumahnya sekedar ngobrol di rumahnya
ditemeni Hasanah. Aku bisa ngobrol sepuasnya dengan dia. Membangun angan-angan, merangkai cita-cita kelak kalau hidup bersama. Aku ke rumahnya
kalau Bapaknya sedang tidak ada di rumah. Kalau bapaknya pulang aku langsung ngacir
alias kabur lewat pintu belakang. Tak peduli walau belakang rumahnya itu blumbang.
Lansung terjang . Yang penting selamat. Tidak ketangkap.
Aku bisa di rumahnya karena ada Hasanah.
Hasanahlah yang memuluskan jalanku.
Hasanahlah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Hasanah adalah saudara
sepupuku. Hasanah juga saudara sepupu Setyowati. Karena ibu hasanah itu adik dari bapakku sedang
bapak hasanah itu kakaknya ibu Setyowati. Sehingga Hasanah bisa keluar masuk
rumah Setyowati dengan sesukanya. Tentunya, ini sangat menguntuntungkan bagi ku
dan Setyowati.
Tetapi,
sebentar lagi dia akan menikah. Tinggal hitungan hari dia sudah jatuh dipelukan
Karjo. Dia tidak berani berontak. Bapaknya berpendirian keras. Dia tidak mampu
melawan keinginan bapaknya. Tinggal aku yang jadi harapannya. untuk bisa
menyelesaikan masalahnya. Tetapi, aku belum berani dihadapkan kepada bapaknya.
Aku baru saja lulus dari pondok. Aku belum punya pekerjaan. Mungkinkah aku
meminang anak orang dalam keadaan seperti ini? Akan aku beri makan apa anak
istriku nanti? Memang rejeki sudah di
atur oleh Yang Maha Kuasa. Kalau setyowati pasti yakin akan hal itu. kalau Bapaknya? Pasti aku
dikatakan sudah gila. Makan itu cinta!
Pukul
sudah menunjukkan 03.00. “Astaga! Aku belum dapat jalan keluarnya”. Kantukku
sudah tidak dapat aku bendung. Akhirnya, aku tertidur. Dalam tidurku aku
bertemu Setyowati. Dia memakai baju pengantin.
“Kang!
Kang…! Kang Burhan!”
Aku
terbangun mendengar teriakan Sanah. Ya, Allah! Hari sudah siang. Jam berapa
sekarang? Di luar, Sanah menggedor-gedor pintu kamarku. Setelah aku buka dia
memberikan sepucuk surat dari Setiyowati.
“Kang
ini ada surat dari Setiyowati.
Kemudian
aku membuka surat itu.
Buat :
Kang Burhan yang
aku sayang!
Emmmuach…..!
Semoga
kang burhan tetap dalam lindungan yang kuasa. Semoga kang burhan tetap dalam
genggaman cinta kasih-Nya. Semoga kang burhan selalu sehat wal afiat, diberi
panjang umur, kuat iman. Banyak rejeki. Amin!
Kang,…Maafkan
aku ya? Aku tidak bisa menunggu
keputusan kamu. Karena aku tau jawabannya, Kang! Paling Kang Burhan menyuruh
aku menikah dengan Karjo. Kang Burhan kan tau, aku tidak cinta dengan Karjo.
Cinta dan sayang Wati hanya untuk Kang Burhan seorang.
Daripada
batinku tersiksa karena menikah dengan
orang yang tidak aku cinta. Lebih baik Wati kabur dari rumah. Wati janji, cinta
wati buat kang burhan akan wati bawa sampai mati. Dan wati janji apapun akan
aku lakukan untuk Kang Burhan tercinta.
Kang…, aku akan pergi jauh. Kang Burhan tidak usah
mengkhawatirkan aku. Aku akan tetap jaga diri. Cinta kita akan tetap Wati
simpan di hati. Aku akan nyusul ibu bekerja di Malaysia. Aku akan pulang ke
Indonesia sampai Kang Burhan meraih sarjana. Doakan wati saja kang. Biar wati
bisa nyampe Malaysia dengan selamat dan dapat pekerjaan. Insyaallah nanti tiap
bulan gaji wati, wati kirimkan ke Indonesia. Nanti kang burhan buat rekening di
bank ya? Biar uang wati langsung wati kirim ke rekening Kang Burhan aja.
Wati
sangat cinta sama kang burhan. Apapun akan aku lakukan demi kang burhan. Demi
cinta kita, Kang! Nanti wati akan ambil kontrak lima tahun. Kang burhan harus
kuliah. Wati yang akan membiayai. Maukah kang burhan janji dengan adek? Kakang
harus kuliah. Kakang tidak usah kerja. Kakang hanya fokus kuliah saja.
Wati yang akan menanggung biaya.
Wati hanya minta Kang Burhan jaga hati ,
jaga diri dan yang penting jaga cinta kita.
Kita menikah setelah kontrak wati habis dan kakang sudah mengantongi
sarjana.
Sudah
dulu ya kang. Kang burhan tidak usah bersedih. Wati akan selalu merindukan kang Burhan.
Emmmmuach….!
Cintamu,
Setyowati
“Ternyata Setiyowati nekad pergi dari rumah,
Nah. Dia betul-betul tidak mau dikawinkan dengan Karjo. Dia milih menjadi TKW.
Dan dia tidak mau menunggu keputusanku. Edan
tenan!”
Kemudian aku
menyodorkan surat itu kepada Hasanah. Dia mulai membaca dengan saksama. Raut
mukanya tampak berubah. Dia mulai membaca huruf demi huruf.
“Ya.. Allah..! Dia kan tidak pernah pergi
kemana-mana, Kang?”
“Ya,
Nah. Itulah yang membuat aku khawatir. Pati saja tidak tau apalagi Malaysia!”
“Terus
ini gimana, kang!”
“Dak
tau aku.”
Pikiranku
buntu seketika. Aku tidak bisa berpikir untuk menentukan langkah apa yang aku
ambil. Mencari setyowati atau membiarkan dia. Kalau aku susul dia aku harus
siap menikahinya. Tapi kalau aku biarkan dia pergi aku takut dia kenapa-napa.
#Pak_Guru_Top
#Pak_Guru_Tops
#Pak_Guru_Tops

Posting Komentar