RIKANA
Oleh: Sutopo Saryani

Permainan  nasib yang aku tuang dalam lembar-lembar hidup membuat aku terguling dan terjatuh dalam jurang yang sangat dalam. Sehingga aku tak mampu bangkit menatap dunia lagi. Aku  tidak bisa  berdiri dengan kedua kaki. Kutuk dan sesal tak henti-henti menghujam ke tubuh ini. Raga dan sukmaku kering. Kemarau telah membakar tubuh dan jiwaku sehingga kerontang sudah harapanku.Terlambat sudah saat aku buka mataku untuk melihat ketulusan cinta kasihnya. Cinta kasih dari seorang istri yang betul-betul tulus pada seorang suami yang sangat dia cinta..
“Rikana, dimana engkau saat ini Rikana? Aku merindukanmu......”
Saat terjungkal dari keterpurukan seperti ini, gerimis begitu sempurna. Sedari berjam-jam tadi menghempaskan kepedihannnya kerelung hatiku. Aku kian sadar  bahwa telah sangat terlambat bagiku untuk sekedar mengagumi setiap jengkal keagungan, kesetiaan dan keanggunanmu. Jangankan kata maaf kepadanya, memeluknya dengan penuh sesal atas semua kebiadabanku sebagai lelaki yang pernah dipercaya oleh Tuhan untuk memilikinya, atau bersimpuh di kakiknya yang selalu dingin bak batu pualam  untuk mengiba dan mengemis kemurahan hatinya, mengampuniku bahkan sekedar untuk mengetahui keberadaannya sekarang ini. Aku sudah gak mungkin lagi mendapatkannya.
.“Rikana Aku baru menyadari keberadaanmu saat kamu tiada di sini. Hidupku tersiksa. Batinku merana. Di rumah kita ini bagai belantara. Malamku sepi, siangku gelap. Hanya kau lah celah yang ku harap. Hanya kau lah cahaya hidupku.  Kaulah yang mampu terangi jalanku. Rikana istriku, kembalilah kepadaku. Aku sangat rindu pada mu. Aku sangat sayang padamu. Aku mencintaimu. Kembalilah ke padaku! Kembalilah ke rumah kita! Aku  akan membahagiakan kamu. Aku akan mencintaimu sampai batas umurku.  Kembalilah Rikanaku, kembalilah kekasihku, kembalilah  sayang!. Maafkanlah kesalahan suami kamu. Maafkan aku Rikana!”
Hanya hening yang menjawab kata-kataku. Hening inilah yang telah menguasai kamar ini sejak kepergiannya. Sementara foto Rikana diam tak bergerak di atas meja kerjaku , senyumnya selalu mengembang tak tampak beban hidup yang begitu dalam yang dia simpan. Foto itulah satu-satunya barang yang ditinggalkan Rikana di rumah ini selain kenangan-kenangan manis dan getir buat dirinya. Tiada lagi kehidupan di rumah ini. Semua sepi. Semua mati. Semenjak dia pergi.
Rikana pergi dari pelukanku empat bulan yang lalu.Ini semua salahku. Aku merasa selama ini bisa hidup tanpa dirinya. Aku selalu merasa kalau aku akan selalu memilikinya.Waktu itu, tanpa sengaja aku mengusirnya. Sebetulnya aku hanya bermaksud mengancamnya. Tapi, dia betul pergi untuk selamanya.Hanya tangis yang mewakili kesedihannya. Kemudian ia berlalu begitu saja. Dengan membawa semua milik dan haknya. Sedang, sehelai baju tak ditinggalkannya. Hanya, sesal dan duka yang tersimpan dalam jiwa.
Rikana adalah seorang istri yang sempurna. Dia tidak pernah mengeluh pada nasibnya. Dia tidak pernah menyesal pada takdirnya. Rikana cukup bahagia walau mempunyai suami kayak aku yang belum bisa memenuhi tuntutan keinginannya. Akulah seorang suami yang biadap yang tak pernah mengerti akan dirinya. Dia tidak minta apa-apa dari aku.Dia, hanya minta ketulusan cinta dan kesetiaan dari ku. Itu baginya sudah sangat cukup. Itu sudah melebihi segala-galanya. Hanya itulah yang membuat ia bisa tersenyum bahagia.
“Rikana, aku rindu kamu…. Tak adakah setetes rindumu padaku yang mewakili batinmu? Rikana, tak adakah rindu yang mengalir dalam benakmu untuk mendorong jiwamu kembali padaku? Rikana tidak kah ingat saat kita pertama di kebun tebu saat malam berbulan madu? Rikana tidak ingatkah kita berdua makan es cream dan sate ayam dan mengucap janji tidak akan pernah mengingkari setelah menunaikan tugas sebagai suami istri?Rikana pulanglah. Pintu rumah kita selalu untukmu. Rikana, istriku kembalilah, mari kita berlabuh dengan nahkoda yang baru. Kita  arungi samudra kehidupan lagi dengan kapal yang baru dipenuhi cinta dan cita kita berdua. Rikana aku sangat menyayangimu.”
Memang kesabaran manusia ada batasnya. Mungkin itu yang menjadi pemicunya. Dia pergi begitu saja setelah aku jatuhkan talak tiga. Kepedihan dan penderitaan yang bertahun-tahun aku tanam dalam jiwanya, ternyata mengakar daging yang menumbuhkan kebencian yang mendalam. Bencinya menggunung, menggulung, mengkarang dan mengkristal sehingga  wanita selembut dia mampu merobohkan tembok perkawinan yang kokoh. Sumpah dan janji setia luntur begitu saja. Kenangan-kenangan manis ditepis tak ada artinya.
Rikana istriku selalu menjadi sasaran kemurkaanku. Padahal hanya hal-hal sepele saja kemurkaanku meluap, mulutku meluncur,mencrocos dengan makian dan cercaan yang membuat dirinya selalu menangis dan bersimpuh. Ketika ia tidak cepat-cepat memenuhi perintah ku. Ketika ia tidak cepat-cepat memenuhi panggilanku.  Atau ketika HPnya mati saat aku telpon atau dia tidak lekas balas sms ku.
 “Dasar pelacur! Wanita panggilan! Wanita jalang! Wanita murahan!’
Itu pasti jadi lauk dalam hujatanku. Yang kuramu dengan bumbu-bumbu bentaan, cacian  dan makian. Rasanya aku sangat puas setelah melontarkan kata-kata itu. Aku akan bertambah puas lagi kalau dia menangis meraung-raung, melolong-lolong kemudian  bersimpuh dihadapanku untuk memohon ampun padaku.
“Papi, ampuni aku, maafkan aku! Maafkan….aku! tolong maafkan aku ya, Pap! Aku mencintaimu, aku menyayangimu!
Tangisan Rikana yang menusuk-nusuk relung hatiku tak pernah aku hiraukan. Tangisan itu aku anggap hanya bohongan.  Bahkan kalau dia belum merangkul dan menyembah kakiku aku belum puas memakinya, menyumpahinya. Kekejamanku begitu lengkap dan sempurna kepada wanita yang seharusnya aku kasihi dan aku ayomi. Wanita yang menyerahkan sepenuh jiwa dan raganya untuk suami tercintanya. Wanita yang selalu mohon maaf padaku walau kesalahan ada pada pihakku.
 “Rikana, beribu maafmu aku pinta atas segala dosaku kepadamu. Aku suami yang tidak berperasaan yang selalu menuntutmu untuk melakukan hal-hal sesuai dengan keinginanku. Aku tau kamu bukan dewa yang mampu untuk segala-galanya. Begitu bodohnya aku, Rikana. Rikana, aku ingin menebus kesalahanku. Aku sangat mncintaimu. Aku  akan selalu memujamu. Kamu  tahu betapa menderitanya aku, hidup sendiri seperti ini tanpa kamu di sampingku. Jika kamu kembali, tak satu pun kata kasar keluar dari mulutku. Tak satu pun huruf yang melukaimu.”
“Pos.....! Pak Pos.....
 Samar-samar aku terdengar suara pak pos. Suaranya sangat jelas di depan rumahku.
“Ah, mungkin pak pos itu bermaksud ke rumah tetangga sebelah. Pak pos itu sudah biasa ke sana mengantar wesel. Anak tetanggaku kan bekerja di Qatar. Aku tidak ada urusan dengan tukang pos itu. Mungkin juga pak pos itu ke rumah Sunar, tetangga yang rumahnya persis di depan rumahku  yang terlambat membayar cicilan sepeda motornya.”
“Pos.... Permisi! Ada surat...Tuan!”
Tukang pos itu ternyata ke rumahku dia mengetuk-ketuk pintu rumahku.
“Ia, pak sebentar” jawabku dari dalam kamar.
“Apa betul ini rumah Tuan Ovan Pribadi?”
            “Oh, betul Pak. Saya sendiri yang bernama Ovan pribadi.”
“Ini ada kiriman surat. Tetapi tidak ada nama pengirim atau alamatnya,” 
Kemudian,  pak pos itu menyodorkan sampul yang berwarna putih. Sementara aku menduga-duga gerangan dari mana surat itu.
“Ini, mas. Monggo, Panjenengan tanda tangan di sini.”
“Aku menurut saja perintah pak pos itu. Aku membubuhkan tanda tangan kebanggaanku.”
“Sudah, Mas. Saya mau permisi dulu. Mari.... “
“Oh, iya Pak. Silahkan! Terima kasih banyak lo Pak.
“Sama-sama, Mas.”
Kemudian pak pos itu menstarter motor berwarna kuning itu. Aku mengantarkan kepergian pak pos itu lewat pandanganku. Setelah tukang pos itu menghilang ditikungan, aku buru-buru ke kamar lagi, membuka sepucuk surat bersampul putih itu.

Ovan Pribadi Yang terhormat ,
Semoga kamu selalu panjang umur dan sehat selalu.
Langsung saja...
Aku hanya ingin memberitahu kamu, tidak lebih dari itu. Aku hamil. Ini kehamilanku bulan ke-4.  Ini benih kamu yang kamu tanam dalam rahimku. Demi Allah ini benihmu! Tapi ini anakku bukan anakmu! Kamu jangan pernah menganggap ini anakmu! Aku tidak akan minta apapun dari kamu akan hak anak ini. Aku mampu menghidupi sendiri anakku. Jangan pernah merusak rumah tanggaku karena aku bahagia dengan suamiku.
Oh, iya. Kamu tidak usah menghubungiku dan kamu jangan pernah menggangguku!”
Sekian dan terima kasih.

Jelas sekali ini surat dari Rikana. Ini tulisan tangan rikana. Rikana hamil? .
“Alhamdulillah ya Allah....engkau telah memberi aku anak.! Engkau telah memberi anugrah terindah dalam hidupku.”
 Ternyata yang di inginkan Rikana terkabul juga. Dia ingin punya anak dariku sebagai perekat cinta dan kasih kami berdua. Tetapi, anugrah itu hadir saat kami sudah berpisah dengan dia.
“Aku janji Rikana! Aku  janji! Aku janji tidak akan merusak kebahagiaanmu. Aku juga janji tidak akan merebut anakku dari tanganmu. Aku bahagia kalau kamu bahagia. Kabar ini saja bagiku  sudah cukup mewakili perasaanmu padaku! Terima kasih, Rikana! Terima kasih!”
Walau Rikana tidak mengakui aku sebagai bapak dari anaknya, tidak masalah bagiku. Aku sangat senang dan sangat bahagia dia mau kasih tau aku tentang kandungannya. Paling tidak aku tahu siapa anak dalam rahim Rikana. Itu pertanda masih ada cinta dalam hatinya. Tapi, cinta itu harus dia tutup demi suami dan keluarganya yang baru.
Aku akan mengadakan selamatan walau sekadarnya untuk mendoakan janin yang dikandung Rikana. Karena bayi umur empat bulan dalam kandungan diberi ruh dan nyawa. Aku  juga akan meminum  kelapa hijau. Tentunya, kelapa itu harus dibacakan basmalah terlebih dahulu sebanyak 786X sesuai pesan Mbahku waktu beliau masih hidup. Anak  yang dikandung Rikana diberi keselamatan, keberkahan, dijauhkan dari penyakit dhohir dan batin, jadi anak yang cerdas, kalau lahir laki-laki wajahnya tampan, kalau lahir perempuan wajahnya ayu dan lain-lain. Masih banyak lagi manfaat air kelapa yang dibacakan basmalah kata Mbah.
Seharusnya  yang minum air kelapa adalah Rikana karena dia yang hamil. Tetapi biarlah aku yang akan meminumnya. Aku niatkan untuk anakku. Demi batikku sebagai seorang ayah. Aku tidak munkin menyuruh Rikana untuk meminumnya. Biarlah dia bahagia dengan suaminya. Biarlah dia yang mengatur hidupnya. Yang penting aku melakukan demi anakku, bayi yang ada dalam kandungannya dan juga demi Rikana yang masih singgah dalam relung hatiku yang paling dalam.    
“Selamat, Rikana! Kamu telah menjadi wanita yang sempurna. Semoga kamu bahagia. Jagalah anakku yang ditipkan Allah dalam Rahimmu. Didik dia dengan didikan yang Islami. Insyaallah aku tidak akan mengusik kebahagiaanmu.”

Rikana akan selalu hidup dihatiku sebagai wanita terbaik. Dia  makhluk Tuhan yang paling sempurna bagiku. Dia  mengerti aku, dia selalu ada untuk ku bahkan dia tidak peduli dengan dirinya demi aku. Dia selalu hidup untuk aku. Tetapi aku mencampakkan dia. Tapi aku menyianyiakan dirinya. Aku akan tetap membawa cintanya. Aku akan tetap mencintai dia walau dia sudah bersama suaminya.

Posting Komentar

 
Top