Pukul
menunjukkan 11.05 namun mata ini masih belum mau dipejamkan. Padahal sejak
habis magrib kantuk sudah menyerangku berkakali-kali. Setelah salat isyak tadi,
kucoba rebahan dan kupaksa mata terpejam, tetap saja tidak bisa. Memang mata
sudah tertutup tapi pikiran masih saja keluyuran. Perasaan gelisah tidak
menentu. Tubuhku terasa sangat berat. Dadaku juga sesak. Tadi, sempat kupaksa
jalan-jalan diluar. Siapa tahu ada teman yang bisa aku ajak ngobrol. E….malah hujan.
Terpaksa deh, pulang ke sarang.
Hujan
kok turun tiap hari, ya..! Padahal, kalau menurut hitungan, bulan ini masuk
kemarau. Benar juga kata orang-orang tua kalau tahun ini ketigo beser. Meskipun kemarau, hujan turun berkali-kali. Ya.., akhirnya
aku berdiam diri, menikmati kopi, ditemani rokok tembakau dalam negri.
He,he,he…..
“Tok,tok,tok…!”
Kudengar, ada yang mengetuk pintu rumahku. Siapa
gerangan malam-malam begini mengetuk pintu? Kalau mau bertamu, tidak mungkin.
Masak, orang mau bertamu sudah kelewat larut begini. Pastilah, orang yang
mengetuk pintu itu membawa informasi yang sangat penting. Kalau tidak penting,
pastinya menunggu esok pagi. Seketika, berdebar kencang jantungku. Apa mungkin
Makde Rodiah meninggal? Wah, kalau Makde Rodiah meninggal aku tidak bisa
memaafkan diriku sendiri. Karena tadi aku tidak menjenguknya.
Aku
bangkit dari tempatku. Melangkahkan kaki
menuju ke pintu. Setelah pintu kubuka, aku tidak menjumpai siapa-siapa. Siapa
tadi yang mengetuk pintu? Jelas, ditelingaku kalau pintu rumahku diketok orang.
“Ini,
pasti ulah temanku yang sedang ngerjain aku!”pikirku.
Aku
mencoba mencari si pengetuk pintu. Aku mencari dengan sangat hati-hati biar
tidak terkejut jika dibalak nanti.
“Kalau
kamu ingin bertamu, tampakkan wajahmu!” kataku.
Aku
berbicara sendiri untuk mengusir ketakutanku. Padahal aku tahu tidak ada
siapa-siapa yang aku ajak bicara. Aku bicara sekenanya. Berdebar jantungku
karena aku tidak menjumpai seorang pun di luar. Tubuhku merinding. Bulu kudukku
berdiri. Kulit tubuhku terasa tebal.
“He,
jangan memepermainkan aku! Aku bukan kanak-kanak yang kamu ajak petak umpet.
Permainanmu tidak lucu! Keluarlah…! Aku tidak takut biarpun kamu seorang
hantu!”
Tiba-tiba
angin datang begitu kencang. Dedaunan berjatuhan. Kulihat ke langit, sinar
rembulan mulai redup di telan awan. Rupanya hujan akan datang lagi. Dadaku
terasa agak sesak. Bulu-bulu kulitku berdiri lagi. Aku merasa ada kekuatan yang
mendekatiku. Semakin dekat kekuatan itu semakin menyesakkan dadaku. Batinku merasa ada makhluk yang mulai mendekatiku.
Aku
pertajam pandanganku. Ternyata betul. Aku menangkap sesosok makhluk berdiri di jalan depan rumah. Kulihat ada seorang
perempuan berambut panjang berdiri dengan posisi membelakangiku. Rasanya, aku
pernah kenal orang ini, tetapi kenal dimana dan kapan? Aku mencoba berpikir... Ah…!
Aku tak mampu memutar rekaman dari memori otakku tentang orang ini.
Kubuang
rasa takutku. Aku penasaran siapa orang itu. Dengan agak gemetar kudekati
sesosok perempuan berambut panjang itu.
“Kamu
siapa?” tanyaku.
“Aku
Windi.”
“Windi
siapa?”
“Orang
yang kamu tolong.”
“Kapan?”
“Malam
satu suro.”
Ya,
aku baru ingat. Ini gadis yang mabuk di jalan bersama tiga orang laki-laki dan
satu temannya perempuan. Dia meminta aku
untuk mengantarkan pulang. Lalu aku antar pulang sama Ipung. Yang membuat aku
penasaran juga gadis ini. karena aku mengalami kejadian-kejadian aneh waktu
itu. Dari siapa dia tahu rumahku? Untuk apa dia datang ke sini?
“Untuk
apa kamu datang ke sini?” tanyaku
“Aku
datang karena ingin minta tolong kepadamu?”
“Tolong
apa lagi? Kalau kamu mau minta tolong, mengapa kamu tidak menunjukkan wajahmu?”
“Aku
malu dan aku khawatir.”
“Mengapa
malu? Dan, mengapa khawatir?”
“Aku
malu karena mukaku hancur sebelah dan aku khawatir kamu takut melihat mukaku.”
“Berbaliklah!
Kamu tidak usah malu dan aku tidak akan takut melihat mukamu,” kataku dengan
agak gemetar.
“Kamu
tidak usah melihat mukaku. Aku kesini hanya ingin minta tolong kepada kamu! Tolong aku…!
“Kalau
kamu mau minta tolong padaku! Tolong, tunjukkan mukamu!” aku memotong
pembicaraannya.
‘Baiklah,
tapi kamu jangan terkejut!”
Aku
tersentak kaget. Ternyata muka windi betul-betul hancur. Aku tahan jeritanku. Persis
yang ada dalam mimpiku muka Windi hancur sebelah. Bercak-bercak darah hitam
masih menempel di mukanya, bau busuk seketika memenuhi rongga hidungku. Meski
hidungku sudah aku tutup dengan kedua tangan, bau itu masih saja menerobos memaksa
masuk ke hidungku. Perutku jadi mual. Ingin muntah saja. Huweekkk…! Sialan!
Aku
berusaha menahan bau busuk. Malam ini, aku ingin mendapat keterangan siapa dia
sebenarnya. Aku juga ingin tahu kejadian-kejadian aneh yang menimpaku malam
satu Suro kemarin. Aku juga ingin tanya tentang rumah besar yang dimasukinya
itu.
“Aku,
tidak kuat…! Aku harus pergi! Akhhh..!
“Tunggu..!”
Windi
melesat pergi. Hanya suara Windi masih terdengar perlahan menjauh.
“Tolong
aku! Tolong…aku! Tolong…aku! Tolong…aku…!”.
Padahal,
masalah yang aku alami kemarin, ingin aku tuntaskan malam ini agar tidak
mengganjal di dada . Aneh, tadi. Windi seperti ketakutan. Dia tiba-tiba berteriak
kesakitan. Ada apa sebenarnya?
#6
#Pak Guru Tops
#pakgurutop.blogspot.com
#saryanisutopo.blogspot.com
#6
#Pak Guru Tops
#pakgurutop.blogspot.com
#saryanisutopo.blogspot.com
Posting Komentar