Maafkan Aku yang tak Berani Menikahimu
Oleh : Pak Guru Top

Yap…!Aku mencoba bangkit dari tempat tidur walau kantukku terus merayu. Maklumlah hari ini hari Minggu. Sangat tepat untuk bermalas-malasan dan memanjakan badan karena aku tidak masuk kerja. Semalaman aku begadang baru habis subuh tadi kupejamkan mataku. Aku harus bangun. Tidak boleh malas-malasan. Karena, hari ini aku berencana mencari  rumah Ana, gadis cantik yang tidak mau aku ajak kenalan tiga malam yang lalu di sebuah acara kemah Bakti Pramuka di Gua Pancur Kayen. Aku ingin menaklukkan keras hatinya. Aku akan buat dia jatuh cinta.
Malam itu, Ana menolak uluran tanganku saat aku ajak kenalan. Gadis yang memiliki rambut panjang ini mempermalukanku di depan banyak orang. Penolakan Ana membuat aku sakit hati. Aku kepingin tau kehidupannya. Karena kesombonganya, atau karena dia betul-betul tau syariat agama yang tidak memperbolehkan antara laki-laki dan perempuan berjabatan tangan. Atau, karena dia tidak suka melihat mukaku.
Beruntung, waktu itu ada Rini. Aku suruh Rini berkenalan dengan Ana. Dari Rini, aku peroleh keterangan lengkap tentang Ana. Namanya, rumahnya, pendidikannya dan lain-lain. Pokoknya komlit-plit, kayak jamu Komplit Sido Muncul. Nama lengkapnya adalah Stivana Dwi Pramaswari.Sebuah nama yang indah. Nama yang mampu meluluhkan hatiku. Nama yang mampu menggetarkan jantungku. Nama yang membuat aku rak iso turu. Hanya lewat pandangan pertama dibuat aku tergila-gila. Aku betul-betul jatuh cinta.
Hanya butuh waktu 60 menit, aku sudah sampai di desa Ana.Sudah dua rumah yang aku datangi karena di sini terdapat 3 nama Ana yang sama, sedang warga sini tidak tau nama lengkap masing-masing. Mereka hanya kenal sebutan Ana saja. Ya, terpaksa aku harus mendatangi rumah Ana ketiga-tiganya. Ana yang pertama seorang ibu muda yang wajahnya lumayan cantik. Kalau dilihat dari wajahnya dan bentuk tubuhnya dulu dia adalah seorang wanita yang cantik. Karena ekonomi pas-pasan dia berubah.
Ana yang kedua anak kepala desa. Aku sempat ragu untuk ke rumahnya. Lihat rumahnya saja aku sudah keder. Ditambah lagi mobil yang berjejer di depan rumahnya. Ana anak kepala desa ini, memang masih gadis wajahnya cantik. Maklumlah anak kepala desa. Kalau dibandingkan dengan Ana yang aku cari cantikan ini.Tapi, banyak cantikan Ana yang aku suka, ha...ha...ha...ha. Bercanda. Kalau diliat sekilas wajahnya seperti Nafa Urbah waktu masih muda. Wajahnya, bodinya, eeem... Bikin Hengky temanku tidak bisa bicara di hadapannya. Hengki terbelalak  melihat kecantikannya. Maklumlah dia anak seorang kepala desa, anak orang kaya dan bunga desa. Aku dibuat keringatan saat mau nyamperin rumahnya. Kini tinggal satu rumah lagi pencarianku akan berakhir.
Aku coba memantapkan niat dan menata hati bertemu Ana. Walau ada keraguan ketakutan dan kegundahan dalam hati, aku singkirkan. Aku akan terima apa yang terjadi. Aku kan siap kalau Ana marah kepadaku. Aku juga siap kalau dia tidak menemuiku. Aku juga siap kalau dia nanti mengusirku. Hari ini, aku harus tau rumahnya dan berkenalan dengannya. Aku ingin tahu hatinya. Kalau dia menolak, paling tidak aku sudah bisa memandang wajahnya dan tau rumahnya.
Aku dan Hengky mencoba mendatangi rumah yang telah dijelaskan orang yang aku tanya tadi. Ciri-ciri yang dijelaskan sama persis dengan rumah yang ada di depanku. Rumahnya agak  ke dalam. Depannya, halamannya luas. Bentuk rumah itu Limasan, bercat dinding berwarna hijau. Teras rumahnya banyak sangkar burung. Degub jantungku semakin keras setelah aku menginjakkan kakiku di teras rumah Ana. Antara takut dan berani, antara maju dan mundur campur aduk jadi satu.
Assalamualaikum!” walau dengan hati yang dag dug, aku mengucap salam kepada dua orang yang sedang ada di dalam rumah yang sejak tadi memperhatikan kedatanganku .
Waalaikum salam.” Jawab seorang ibu yang sedang asyik menancapkan bilah-bilah bambu di dinding-dinding sangkar burung.
Dekat ibu itu sudah ada bebarapa sangkar yang telah jadi. Di depan Ibu itu ada seorang gadis yang seumuran dengan aku. Kalau dilihat dari wajahnya dia mirip Ana. Mungkin dia kakaknya. Badannya lebih besar dan lebih tinggi daripada Ana. Kecantikan gadis itu juga tidak kalah dengan Ana.
“Ini benar rumah Ana, Bu!” tanyaku untuk memastikan.
“Ya, silahkan masuk Mas!”
“Inggih, Bu! Ana wonten teng griyo ?”
“Ada, Mas! Tapi, dia lagi di rumah Dwi. Baru saja keluar. Biar dipanggilkan Hana. Rumahnya dekat kog!”
Aku lalu masuk Hengky mengikutiku dari belakang. Tampaknya Hengky ragu-ragu dan takut. Terang saja. Karena aku kan belum kenal Ana, tetapi sudah mengaku-ngaku temannya. He…he…he…..Topan Nugraha e dilawan!  Gadis tadi disuruh ibunya memanggil Ana di rumah Dwi. Gadis tadi kakak Ana. Dia bernama Hana. Memang aku tidak kenalan dengan dia. Aku tau kalau namanya Hana dari ibu tadi  menyebut nama Hana.
“Pan,” kata Hengky setengah berbisik. “Apa tidak kita tanyakan dulu apa betul ini rumah Ana yang kamu maksud? Jangan –jangan kita keliru lagi!”
“Tidak apa-apa. Kalau keliru lagi, kita kabur lagi. Bereskan!?”
“Okey! Aku ikut saja. Tapi, aku takut...!”
“Udalahlah…,kita liat aja nanti!”
Aku menyapu seluruh ruangan. Mataku berhenti di sebuah buffet, menatap figura yang berukuran 10 R yang terpajang di buffet di ruang keluarga. Tidak salah lagi itu foto Ana. Walau dalam foto itu dia pakai jilbab, aku tidak pangkling. Aku tatap terus foto itu. Aku semakin yakin kalau rumah ini adalah rumah Ana yang sombong itu.
Aku mencoba melanjutkan pengamatanku. Ternyata di atas kepalaku persis terdapat foto Ana juga. Tapi foto yang ini dia tidak memakai jilbab. Ukurannya lebih kecil dari foto yang ada di atas buffet. Aku dan Hengky semakin yakin dan mantap. Aku dan Hengky saling senyum dan saling pandang. “Siii….p!!!” kami berdua mengacungkan jempol bersamaan. 
“Mas, monggo diminum! Sebentar lagi Ana pulang, kog!” kata kakak Ana ketika menyodorkan minuman dan makanan kecil kepada aku dan Hengky
Inggih, mBak!” Aku dan Hengky menjawab dengan kompak dan semangat.
Aku dan Hengky berpandangan lagi. Kami ketawa cekikikan melihat botol sprit dan makanan yang tersaji di meja. Tidak beberapa lama, Ana pulang. Dia Nampak terkejut melihat aku ada di rumahnya. Kemudian dia masuk ke dalam sebentar. Lalu  duduk di kursi yang berada di depanku. Dia diam. Mata Ana menatapku  menunjukkan tidak suka. Tapi lewat tatapan maatanya ada rasa rikuh kepadaku. Aku coba buka pembicaraan.
“Hai, An! Apa kabar?” Aku mengulurkan tanganku. Tetapi Ana hanya diam saja. “Masih ingat dengan aku?” 
“Masih!” jawabnya acuh. “Untuk apa kamu ke sini?!” katanya lagi tanpa melihat aku.
“Ya…, ingin kenal kamu, lah..?! Bolehkan?”
“Tidak! Aku tidak kenal kamu. Kapan aku kenalan sama kamu?! Kita tidak pernah kenalan dan kita tidak usah kenal!”
“Tapi, aku kan udah kenal kamu. Kalau begitu kita kenalan yuk! Kenalkan namaku Joko. Lengkapnya, Joko Ali Murtado. Aku  anak Pati,” aku mengulurkan tanganku namun Ana dingin.
“Sorry, ya! Aku tidak butuh kenal kamu!”
Ser….! Darahku mendesir. Badanku panas dingin. Aku jadi keringetan mendengar kata-kata sengaknya. Aku harus bisa kuasai diri. Aku jangan sampai mundur. Apalagi kabur. Aku mencoba bersikap wajar seolah-olah tidak ada peristiwa apa-apa. Aku mencoba pertebal muka.  Ana diam. Kelihatannya dia betul-betul marah. Suasana menjadi dingin dan hening. Tubuhku menggigil seperti habis kehujanan. Dadaku sesak sekali. Sakit sekali hati ini. Tetapi, aku harus bisa menguasai medan. Aku harus bisa menahan walau kaki ini berteriak-teriak ngajak lari pulang.
Aku diam. Kupandang wajah Ana. Tak sedetikpun aku lepaskan.Tetapi, Ana tidak melihat aku yang berada di depannya dia memandang di sebelah kiri, dia menatap dinding yang putih yang tidak ada apa-apa, hanya ada percak-percak hitam karena dimakan usia.
Walau hati sedikit keder,Aku mencoba mengeluarkan guyonan-guyonan agar Ana mau tersenyum. Aku juga mencoba mengeluarkan bualan-bualan, aku tambah rayuan.Kadang dia curi-curi pandang. Pada saat dia memandangku aku pura-pura tidak tau. Dia menatap wajahku cukup lama. Aku hanya menatap sangkar-sangkar burung yang belum jadi yang ditinggal pengkrajinnya masuk ke dalam. Agaknya ibu dan kakak Ana menyingkir sementara untuk memberikan sedikit kelonggaran kepada aku dan Ana.
Pada saat Ana menatap aku, aku tangkap tatapan matanya. Kami saling pandang cukup lama. Tetapi, wajah Ana masih kaku. Aku tidak menyerah. Tetep aku pandang wajah Ana yang ayu. Kali ini tatapan matanya mengenaiku lagi. Aku tangkap tatapan matanya lagi. Kemudian dia tersipu. Akupun begitu. Suasana jadi berubah agak mencair. Kami  saling pandang berkali-kali. Kami  tidak menghiraukan Hengky yang ada di sebelahku. Kalau mataku dan mata Ana bertemu, Hengky pura-pura batuk. Ehemb.. eHem! uhuk..uhuk! Ana terlihat tersipu. Wajahnya yang putih menjadi merah merona. Dia mulai tersenyum.
Akhirnya kami membuka percakapan. Kami kenalan. Dia menceritakan sedikit tentang bisnis keluarganya walau aku tidak tanya. Bapaknya seorang tebasan padi, dan di rumah membuat sangkar burung untuk kegiatan ibunya. Ya, lumayan untuk tambahan belanja katanya. Kadang kalau pesanan ramai Ana ikut bantu ibunya. Ana juga bercerita kalau saudaranya hanya dua. Hanya dia dan Mbak Hana.
Aku pun bercerita tentang alamat rumah, hidupku, keluargaku dan teman-temanku. Kadang Hengky sesekali menimpali pembicaraanku. Rupanya tanpa kami sadari aku cukup lama ngobrol bersama Ana. Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak masuk rumah dan melemparkan kunci motor ke buffet. Brak!!! Lemparannya agak keras, membuat kami bertiga kaget.
“Ibu kamu di mana An?!” tanya bapak itu kepada Ana dengan suara keras.
“Di... dalam, Pak..!”
Orang itu lalu masuk ke dalam tanpa melihat ke arahku.Ana wajahnya tampak berubah. Dia kayaknya takut kepada bapak itu. Detak jantungku juga keras. Ternyata dia adalah bapak Ana. Aku tau perubahan sikap Ana. Aku harus tau diri. Aku harus cepat-cepat meninggalkan rumah Ana. Mungkin bapak Ana lagi kesal dengan pekerjaannya atau mungkin dia tidak suka anak gadisnya bertemenan dengan aku. Maklumlah, rambutku gondrong. Orang yang tidak tau kebaikan hatiku pasti menyangka kalau aku ini pemuda berandalan. Padahal aku ini orangnya baik.
Tanpa pikir panjang, aku pamit pulang. Sebelum aku pulang Ana memberi aku sebuah foto yang diambil dari album fotonya. Akan tetapi aku menolak. Karena... Aku menginginkan foto Ana yang di pajang di ruang tamu. Dengan kemarahan manjanya dia meluluskan permintaanku. Dengan senyum manisnya dia mengantarkan kepulanganku.
Setelah perkenalan di rumah Ana. Kami saling mengirim surat. Kami menyatakan isi hati masing-masing. Kadang kalau hari minggu aku dolan ke rumahnya. Tetapi, aku belum berani ngajak dia jalan-jalan layaknya orang pacaran.

Next to #2

Posting Komentar

 
Top