Sudah hampir setahun aku berpisah dengan Ana. Hampir setahun aku tidak ketemu dia apalagi kirim surat ataupun main ke rumahnya. Sejak aku diusir dari rumahnya, hubungan kami putus ditengah jalan. Semenjak itu, aku tidak pernah dolan ke rumahnya. Waktu itu, Ana betul-betul marah padaku. Dia menganggap aku mempermainkan hatinya. Menganggap aku lelaki tidak punya malu, laki-laki yang tidak punya hati. Laki-laki yang tidak punya perasaan. Laki-laki yang...dan lain-lain. Pokoknya banyak tuduhan-tuduhan yang dilemparkan ke aku. Banyak kata-kata kasar yang dibuang ke mukaku.
Setiap aku kepingin dolan ke rumahnya untuk meluruskan permasalahan, nyaliku tak berani. Takut diusir lagi. Karena waktu itu, dia mengatakan kalau seumur hidupnya tidak akan memaafkan aku. Selamanya, haram hukumnya rumahnya diinjak kakiku. Sampai kiamat pun kata maaf tidak akan diberikan padaku. Hingga kini aku tak berani menemuinya. Sampai saat ini aku pendam cintaku untuknya.
Ada dua hal yang memicu kemarahannya. Yang pertama, masalah namaku dan yang kedua, katanya ada tiga suratnya yang tidak aku balas. Masalah nama memang aku akui, aku yang salah. Namaku Ali Taufan Nugraha, sering dipanggil Topan atau Ali Topan oleh teman-temanku. Namun, aku berkenalan dengan dia dengan nama Joko, lengkapnya Joko Ali Murtadho. Aku menggunakan nama Joko bukan karena aku ingin mempermainkan Ana.
Waktu itu aku iseng saja. Aku pengen tahu hati Ana. Tetapi, setelah hubungan berjalan, Ana mengetahui namaku yang sebenarnya sebelum aku memberi tahu dia. Sebetulnya waktu itu aku ke rumahnya ingin jujur padanya bahwa namaku bukan Joko Ali Murtadho dan aku ingin mengetahui kabarnya. Karena waktu itu, hampir dua bulan surat Ana tak kunjung datang. E...malah aku diseret keluar.
Kalau masalah nama, memang aku yang salah. Aku sudah mengakui dihadapannya dan aku sudah minta maaf berkali-kali. Tetapi, kalau masalah tiga suratnya yang tidak aku balas, aku mengelak. Semua surat yang aku terima semua aku balas. Aku tidak pernah menerima surat yang dia maksud. Katanya surat, itu dikirim ke pos lewat temannya. Surat itu dititipkan Diyah temannya. Aku sudah meyakinkan dia. Aku tidak pernah menerima ketiga suratnya. Aku malah dikatakan pembohong. Laki-laki pengobral janji.
Selama ini aku mencoba mengubur angan-anganku untuk hidup bersama Ana. Walau hati ini masih miliknya. Aku mencoba melupakan dia. Aku merasa sudah tidak punya harapan lagi memiliki cintanya. Tetapi, tadi Hengky membawa pesan dari Ana untukku. Dia masih mencintaiku. Ana sudah memaafkan aku. Ana menungguku di rumah.
“Pan, kamu disuruh Ana ke rumahnya. Tadi pagi, aku bertemu dengan dia.”
“Untuk apa? Bukankan dia sudah tidak peduli dengan aku?’
“Dia menunggu kehadiran kamu. Kamu yang bisa menyelesaikan masalah Ana.”
“Ana punya masalah apa? Bukankah dia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa aku?”
“Tidak. Yang dapat menyelesaikan masalah Ana hanya kamu dan dia. Kuncinya ada pada kamu. Ana akan dijodohkan orang tuanya. Dia akan dijodohkan dengan seorang mandor pabrik rokok Djarum”
“Lalu, hubungannya dengan aku apa?”
“Lo, kamu ini gimana! Bukankan kamu dengan Ana saling mencinta?”
“Iya, itu dulu. Tapi sekarang aku dan Ana kan sudah berpisah. Kami sudah tidak ada hubungan lagi. Dia sangat membenciku. Bahkan, dia akan membenciku sampai mati. Ana sudah tidak sudi lagi melihat mukaku. Ana juga tidak akan pernah memaafkan aku.
“Bukan. Dia tidak membenci kamu. Dia masih cinta kepada kamu. Selama ini dia menunggu kamu datang ke rumahnya. Dia sudah memaafkanmu. Dia selalu menunggu kamu datang ke rumahnya. Menunggu kamu mau minta maaf kepadanya. Dia menunggu kamu datang melamarnya. Tadi pagi, dia berkata begitu saat aku ke rumah Dwi.”
“Mengapa dia tidak mengirim surat?Mengapa dia tidak pernah mengirim kabar kalau dia telah memaafkan kesalahanku?”
“ Seharusnya, kamu lebih tahu. Kamu, yang tidak punya perasaan. Kamu yang menggantung permasalahan! Kamu tidak pernah mau menyelesaikan! Apa pernah kamu menemui Ana untuk menyelesaikan masalah kalian? Tidak, kan?!! Berkirim surat saja kamu tidak pernah apalagi mendatangi rumah Ana?”
“Dulu aku sudah mati-matian menjelaskan tapi, apa hasilnya? Apa....?!!
“Pan! Ana itu seorang perempuan. Perasaan seorang perempuan sangat halus. Mana mungkin seorang perempuan seperti Ana harus….. Ah! Kamu itu yang keras kepala! Kamu sama sekali tidak memikirkan perasaan Ana! Seharusnya kamu yang datang dan meminta maaf pada dia. Bukan kamu.....!” Hengky menghentikan pembicaraannya, suara Hengky agak meninggi, tangannya dihantamkan ke udara yang ada di depannya untuk melampiaskan kemarahannya ke padaku.
Aku terdiam. Aku sudah tidak bisa bicara apa-apa lagi. Sebetulnya aku selalu merasakan apa yang dirasakan Ana. Aku tau betapa sakit hati Ana. Karena orang yang dia cintai telah menipu dia. Memang aku yang salah. Aku akui aku yang salah. Aku berkenalan dengan dia dengan nama palsu. Aku berkenalan dengan dia dengan nama “Joko Ali Murtadho.”. Nama yang bukan namaku. Itu yang menguatkan pendapatnya kalau aku laki-laki yang tidak beres. Sebetulnya aku pengen membicarakan. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Semuanya telah hancur...
Tetapi, aku tidak seperti yang ditudahkan Ana kepadaku kalau aku play boy. Aku setia dengan dia. Memang, aku akui sebelum kenal dengan dia kalau aku punya banyak cewek. Tetapi, setelah kenal dengan dia cintaku hanya untuknya. Aku putuskan semua cewek-cewekku. Satu Ana sudah cukup bagiku. Seorang Ana mampu membangkitkan angan-anganku.
Menurutku, Aku sudah tidak punya harapan lagi atas cinta Ana. Karena pada waktu itu aku sudah minta maaf berkali-kali kepadanya. Ana tidak mau memaafkan aku. Tapi, aku malah diusir dari rumahnya. Aku tidak boleh masuk rumahnya.Terpaksa perdebatan sengit kita jalani di teras rumahnya. Karena pada saat kakiku menginjakkan pintu rumahnya dia menghadangku.
“Sebentar..jangan masuk dulu!”
“Ada apa An?”
“E...kok pura-pura tidak tau!”
Aku tidak menghiraukan kata-kata ana. Kemudian aku nylonong masuk ke dalam rumah. Tetapi, Ana dengan cepat menangkap pundakku dan menyeret aku keluar. Lalu dia menyuruh aku, duduk di balkon teras rumahnya. Kemudian Ana mencerca dengan berpuluh pertanyaan. Saat aku bertengkar dengan Ana ibu Ana menghampiri
“Mas, masuk rumah saja. Bicara di dalam...”
Kemudian Ana bilang,” Tidak, buk! Orangnya mau balik !”
Kemudian ibu Ana pergi meninggalkan kami. Mungkin dia menganggap aku akan betul-betul pulang. Kulihat, kakak ana sudah menaruh minuman dan makanan kecil di atas meja. Tetapi Kak Hana hanya diam saja. Dia kemudian masuk ke dapur tanpa memperhatikan aku. Setelah satu jam lebih aku dan Ana bertengkar di teras rumah, kakak Ana menghampiri kami, mBak Hana berdiri di depan pintu mempersilakan aku masuk ke dalam rumah.
“An, temanmu ajak masuk ke rumah a An!”
“Tidak mbak! Orangnya mau balik pulang! “
Lagi-lagi kata-kata itu yang diucapkan Ana. Kata-kata itulah yang masih terngiang sampai saat ini. Kata-kata itu yang mengurungkan niatku masuk ke dalam rumah Ana. Setelah satu jam lebih sejak Mbak Hana mempersilahkan aku, akhirnya aku pamit pulang.
“Oh, ya Pan! Ana meminta maaf tentang ketiga suratnya yang katanya tidak kamu balas. Ternyata surat itu tidak dikirim temannya. Surat itu sengaja tidak dikirim atas permintaan tetangga Ana yang suka dengan Ana. Dia menginginkan Ana putus dengan kamu, “ kata Hengky dengan menepuk pundakku. Kelihatannya Hengky memahami jiwaku.
Aku kaget. Kata-kata Hengky membuyarkan lamunanku. Kata-kata Hengky hanya aku balas dengan anggukan saja. Karena pikiranku kacau.
“Ana meminta kamu datang ke rumahnya. Kamu akan dihadapkan ke orang tuanya. Dia mengatakan ke orang tuanya, kalau dia sudah punya calon suami. Calon suaminya kamu. Makanya, kamu ditunggu Ana datang ke rumanya mulai sekarang. Kalau kamu tidak datang, terpaksa Ana menuruti keinginan orang tuanya,” kata Hengky sebelum meninggalkan rumahku. Dia kelihatannya tidak bisa memberikan solusi atas permasalahaku.
Kabar bahagia dari ana membuat aku tidak berdaya. Sebetulnya aku pengen sekali ke rumahnya. Aku kepengen ketemu dia. Aku sangat merindukan dia. Karena hampir setahun aku tidak ketemu dia. Aku kepengen berteriak bahagia. Aku kepengen berlari melamarnya. Tetapi, aku tidak bisa. Kali ini aku tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Aku tidak berani lagi datang ke rumahnya. Aku sudah tidak bisa memberi harapan kepada Ana. Aku tidak bisa berjanji seperti waktu dulu-dulu lagi.
Aku tidak mungkin bisa meluluskan permintaan Ana. Aku tidak bisa melamar Ana. Kini aku juga akan menikah. Aku akan menikah atas pilihan orang tua. Tadi malam, Bapakku mempersunting gadis itu untukku. Aku tidak mungkin membatalkan pernikahanku dengan Lisa. Karena tadi malam, aku sudah mengatakan setuju menikah dengan Lisa dihadapan Lisa, kedua orang tuaku dan kedua orang tua Lisa.
“An….! Kenapa tidak kemaren-kemaren kabar bahagia dari kamu ini sampai ke telingaku? Kenapa baru kali ini, An? Kenapa?! Andai saja kabar ini sampai padaku kemarin sore aku bisa merubah keputusanku. Pasti tadi malam aku ke rumah kamu. Pasti tadi malam aku berjanji di depan orang tuamu bukan di depan orang tua lisa, An...! Tapi, kini semua sudah terlambat. Semua telah berubah arah An...! Kapalku sudah tidak bisa berlabuh lagi di samudra kehidupanmu. Baru tadi malam aku menyanggupi tawaran orang tuaku. Baru tadi malam aku setuju menikah dengan gadis pilihan orang tuaku.”
Foto Ana hanya tersenyum melihat tetes air mata yang mengalir dari mataku. Sementara surat-surat Ana berserakan di kasur. Surat-surat itu sengaja aku baca satu persatu sebelum Hengky datang ke rumahku tadi. Aku ingin mengingat kembali keceriaan Ana saat aku dan dia masih bersama. Aku ingin menelan kebahagiaan saat menulis dan menerima surat dari Ana. Aku ingin mengingat candanya, tawanya, manjanya, marahnya....
Biarlah aku dianggap pengecut oleh Ana. Biarlah Ana selalu mengutuk aku dengan sebutan lelaki yang banci, lelaki yang tidak berani menikahi kekasihnya. Maafkan aku Ana! Ma’afkan aku. Semoga kamu bahagia dengan lelaki pilihan orang tuamu. Ma,afkan!
Beberapa hari kemudian, aku menerima surat undanngan dari Ana. Surat undangan itu baunya harum. Aku ciumi surat undangan itu. air mataku tiada terbendung membasahi surat berwarna merah muda itu. Aku tidak tau kenapa aku tidak pernah berpikiran untuk menyelesaikan masalahku dengan Ana?
Aku menghadiri pernikahan Ana, waktu aku datang dia sudah didudukkan di kursi pengantin. Namun, calon suami Ana dan rombongan pengiring belum datang. Ana tampak bahagia melihat aku datang. Tapi kebahagiaan itu cepat hilang. Mendung menutupi raut mukanya. Rupanya hujan akan turun. Betul juga. Ana mulai meneteskan air mata. Walau, butir air mata ingin coba ditahannya, air mata itu berjatuhan sebagai wakil hatinya. Ia menatapku lama. Aku balas tatapan matanya. Air mata itu mengalir deras tak terbendung. Untung, hari masih pagi. Para tamu belum datang. Para tetangga yang ngalong sibuk sendiri-sendiri.
Aku mencoba menenangkan dia “An, orang mencinta tidak harus bersama. Orang mencinta tidak harus membina rumah tangga.” Air mata Ana semakin menderas jatuh dari bola matanya yang indah.” An, percayalah aku sangat cinta padamu. Kaulah cinta pertamaku dan cinta terakhirku. Tapi, kita harus ikhlas akan takdir kita. Aku tidak bisa menikahimu karena aku juga harus menuruti kehendak orang tuaku. Aku juga akan segera menikah, An!”
Tangisan Ana malah semakin kencang. Membuat kami menjadi pusat perhatian para rewang. Namun, Ana tidak memperdulikan semua itu. Air matanya semakin dibiarkan mengalir. Aku jadi ewoh dengan keluarga Ana dan para tetangganya. Kemudian, Ana dihampiri perias pengantin. Dia diajak masuk untuk memperbaiki make upnya yang rusak gara-gara lelehan air mata.
“Aku harap kamu jangan beranjak pulang dulu. Aku minta kamu mau menyaksikan akad nikahku. Nanti, Aku ingin foto dengan kamu. Aku ingin mengabadikan kenangan terakhir kita ini. Foto kamu akan aku jadikan penawar rinduku dan sebagai obat dalam sakitku,” pesan Ana sebelum dia beranjak pergi digandeng dukun nganten itu.
“Baiklah…” kataku untuk menyenangkan hatinya.
Setelah Ana masuk ke dalam rumah, aku mengajak Hangky pulang. Mulanya Hangky protes. Tetapi, setelah memahami maksudku dia setuju. Akhirnya aku pulang tanpa meminta pamit dari Ana.
The End.
The End.
Posting Komentar