MEMBUNUH RASA
Oleh: Pak Guru Top
“Empu geluh!” teriak Kakek Nasir setelah ia mengamati sinar mentari yang
mengintip di sela-sela daun jati.
“Apa sudah waktunya istirahat Kek?”
tanyaku.
“Kelihatannya sudah. Lihatlah, sinar
matahari yang menerobos daun-daun itu. Sinarnya berada di atas kepala kita!”
“Oh ya betul Kek, matahari sudah di atas
kepala kita!”
Kataku setelah kudongakkan kepala
mengikuti perintah Kakek yang sudah berumur 75 tahun tetapi tenaganya masih
perkasa. Beliau tidak mau kalah dalam mengangkat batu dengan yang muda-muda
seperti aku ini.
“Samsudin…!
Pak Ali…! Ayo, kita istirahat dulu!” teriakku kepada
Samsudin dan Pak Ali yang belum mau meninggalkan batu itu. Kulihat Samsudin dan
Pak Ali masih serius membongkah batu segede meja.
“Ya, sebentar! Ini batunya sangat besar!”
teriak Samsudin.
“Tinggal aja, nanti dilanjutin!”
teriakku.
“Nanggung!”
“Baiklah kalau begitu,aku ganti baju
dulu, ya!” teriakku lagi.
“Ya, silahkan!”
Kususul Kakek Nasir yang telah melangkah
mendahului ke tempat kami menaruh baju ganti. Setelah ganti baju, aku duduk di
sebelah Kakek yang menjadi ketua rombongan di sini. Kunikmati rokok produksi
Madura sambil menunggu Samsudin dan Pak Ali, anak Kakek Nasir untuk menyantap
makan siang.
“Setelah makan kita sholat ke tempat
kemarin siang atau pindah ke desa lain Kek?” tanyaku kepada Kakek yang sudah
lama ikut Kyai Sholeh ini.
“Kita pindah saja. Di tempat kemarin aingnya
tinggal sekunik!”
Aku hanya mengangguk-angguk menerima
jawaban dari Kakek Nasir. Memang kemarau sangat terasa. Kemarau telah merampas
sumber-sumber air. Padahal desa-desa sekitar hutan jati milik Pak Yai Sholeh
ini area pegunungan. Namun, sumber air sudah banyak yang mati.
“Kringngng…..! Kringngng…..!
Kringngng…..!””
“HP mu bunyi tuh!” kata Kakek Nasir kepadaku
sambil menunjuk plastik hitam yang bergelantung di pohon.
“Biarlah, Kek! Paling-paling teman-teman
pada iseng!” tangkisku.
“Diangkat saja, siapa tahu ada hal yang
penting! Dari keluargamu misalnya?”
“Biarlah kek!”
Kubiarkan deringan HP itu sampai bunyinya
melemah dan hilang. Karena niatku pergi dari rumah, menjauh dari hingar binger
kehidupan. Aku ingin meraih ketenangan. Takdirku membawa aku sampai di sini.
Sudah satu tahunan lebih aku berada di Pulau Madura ini. Aku tinggal di pondok
pesantren yang terletak di daerah pegunungan, di Desa Pelesangger Kabupaten
Pamekasan Madura. Walau antara Pulau Garam dan Pati hanya beberapa jam saja,
selama ini aku belum pernah pulang ke
rumah. Aku berusaha mengusir kekangenanku kepada Emak, Bapak, Kang Khoirun dan
lebih-lebih kepada Nawang dengan mengikuti kegiatan di pondok pesantren ini.
Semenjak aku tinggal di Madura ini, aku enggan berkomunikasi dengan teman-teman
dan keluargaku di Jawa.
Aku pergi meninggalkan rumah sejak Kang
Khoirun menikah dengan Nawang. Waktu itu aku pergi dari rumah setelah
menyaksikan akad nikah. Aku pergi tidak pamit dengan keluarga. Aku hanya
berpesan kepada Bambang kalau Bapak atau
Mak tanya, aku suruh bilang kalau aku dapat panggilan pekerjaan. Waktu itu aku pergi hanya untuk menenangkan diri.
Ya, mungkin untuk beberapa hari. Tetapi, aku malah nyampe di Pulau Garam ini.
Ketika aku pergi dari rumah, aku hanya
membawa beberapa potong pakain saja. Aku tidak bawa ijazah atau surat-surat
penting lainnya karena aku tidak berniat cari kerja. Untuk memenuhi perutku aku
ikut Pak Yai Sholeh, pengasuh Pondok Pesantren Madu Kawan. Di sini setiap hari
aku disuruh mengumpulkan batu dari hutan jati miliknya yang terletak di gunung
yang jaraknya 5 KM dari pondok. Mungkin jaraknya sama dengan jarak antara Desa
Guyangan Trangkil sampai Juwana. Aku berangkat dan pulang berjalan kaki bersama
temanku, Samsudin anak dalem.
Walau aku seorang sarjana lulusan UIN
Sunan Kalijaga Jogja, Jurusan Tarbiah tetapi identitasku aku rahasiakan. Aku
bisa saja ngajar MI, MTs, bahkan Aliyah di sini. Karena, di pondok ini
mengelola berbagai pendidikan, sedang guru-gurunya hanya beberapa yang lulusan
sarjana. Tetapi, aku lebih suka memanggul batu di hutan bersama Samsudin, Kakek
Nasir, dan Pak Ali. Jiwaku terasa tenang saat kerja mengumpulkan batu di hutan
jati bersama mereka bertiga dengan dihibur oleh perkutut-perkutut alas.
Sehingga aku mampu membunuh rasaku yang menggelora kepada Nawang yang kini
secara syah menjadi suami kakakku.
Ditambah lagi
kedamaianku di saat istirahat siang aku bisa ngobrol dengan orang-orang Madura, warga desa yang rumahnya dekat hutan.
Karena setiap istirahat siang Mbah Nasir
mengajak aku, Samsudin, dan anaknya turun gunung mencari surau untuk sholat dhuhur dan istirahat
sejenak. Perasaanku sangat terhibur dengan keramahan orang Madura saat mereka
membawakan, singkong rebus, kopi, nasi jagung untuk kami. Orang-orang Madura
sini ramah-ramah berbeda dengan orang-orang Madura yang merantau di Jawa.
“Kringngng…..! Kringngng…..!” HP ku berbunyi
lagi.
“Angkat saja Nak! Kalau tidak penting,
tidak mungkin menelpon lagi!”
Entah mengapa ada dorongan dalam jiwa
yang memaksaku untuk meraih HP yang ada dalam plastik hitam yang aku gantung di
pohon jati itu.
“Assalamualaikum…..!”
Aku sangat terkejut mendengar suara orang
yang mengucap salam dalam telepon. Aku sangat hapal suaranya. Kangenku seketika
membuncah. Tergambar sosok wanita yang selama ini aku siksa batinnya yang bukan
sama sekali karena kesalahannya. Pikiranku kacau. Bingung. Harus aku biarkan
atau aku angkat telponnya?
“Assalamualaikum….!” Wanita itu
mengulangi salamnya.
“Waalaikum salam….!”terpaksa aku jawab
salamnya.
Dadaku sesak. Ada sesuatu yang menggumpal
di dada. Batinku menangis. Tak sengaja ada sesuatu yang mengalir dari bola
mataku. Aku mencoba meredam air mata yang mengalir dari bola mataku. Lelaki
harus tangguh. Pantang mengeluarkan air mata.
“ Le.., ayahmu masuk rumah sakit!
Kamu pulang yo, Le....!”Suaranya parau. Mungkin Mak juga mengeluarkan
air mata. Karena selama ini aku enggan dihubungi.
“Sakit apa, Mak?”
Jawabku sedikit terkejut karena Bapak
tidak pernah sakit. Bapak orangnya luar biasa. Bapak tidak pernah minum pil
atau jamu. Kalau badannya pegal-pegal cukup minta pijit saja. Dia paling enggan
kalau pergi ke dokter. Kalau diajak ke dokter lebih baik dia minta dibelikan
sate itu sudah cukup.
“Bapakmu magnya kambuh. Kamu pulang yo,
Le! Mak juga sangat kangen karo awakmu! Awakmu bali yo Le! Bali tenan
yo, Le!”
“Ya, Mak! Salman akan pulang! Salman juga
kangen dengan,Mak!” jawabku.
“Bapakmu juga tanya terus tentang kamu,
sempatkan pulang tenan yo! Pulanglah satu atau dua Minggu di rumah, ya!
Nanti kalau kamu ingin kembali merantau lagi tidak apa-apa! Ingin merantau
bertahun-tahun juga tidak apa-apa!”Seng penting awakmu roh omah. Aku
tahu keadaanmu!
“Nggeh, Mak! Salman akan pulang
secepatnya!” jawabku untuk menyenangkan hatinya.
Mak tidak menau masalahku. Mengapa wanita tua itu harus menanggung hukumanku? Ah
biarlah, aku tetap pada keputusanku! Aku belum pulang kalau belum mampu
melupakan Nawang dan sebelum aku dapat menemukan pengganti Nawang. Mak,
ma’afkan aku! Maafkan aku yang telah memutus tali selama ini. Ma’afkan juga
anakmu yang belum bisa menuruti keinginanmu. Aku belum bisa pulang karena di
rumah ada menantumu yang menjadi bagian dari hidupku. Aku tidak mau
menghancurkan semuanya. Biarlah aku yang hancur asalkan Nawang dan Kang Khoirun
bahagia.
Lagian aku masih belum mau bertemu Bapak.
Karena Bapaklah orang yang paling aku anggap bersalah dalam hal ini. Kenapa dia
melamar Nawang untuk kakakku bukan untuk aku? Padahal Bapak sudah diberitahu
Lek Darman kalau aku dan Nawang saling menyinta. Tetapi Bapak bersikeras kalau
yang menikah harus Kang khoiron lebih dulu. Bapak ngugemi adat jawa. Adik
laki-laki tidak boleh mendahului kakaknya babakan pernikahan.
Kelurga Bapak Jamil juga tidak berani
mengatakan kepada Bapak kalau yang cinta kepada anaknya adalah aku bukan Kang
Khoiron. Bapak Jamil tidak berani mengungkapkan kepada Bapak kalau yang
diinginkan jadi menantunya itu aku bukan Kang Khoirun. Kedua orang tua Nawang
tidak mampu membatalkan pernikahan. Akhirnya pesta perkawinan digelar.
Untung,
di sini banyak aktivitas yang aku
jalani sehingga aku mampu menikam rasa
kekangenanku kepada Mak, Bapak, Kang khoiron dan lebih-lebih kepada Nawang.
Dengan berat kulewati hari-hariku walau bayang-bayang mereka selalu hadir di
setiap malamku. Bayang-bayang mereka hadir setiap langkahku. Lebih-lebih
bayang-bayang Nawang yang selalu hadir setiap terjaga mataku. Karena bertahun-tahun
Nawang telah menyatu dalam hidupku. Jiwa Nawang telah masuk dalam jasad dan
sukmaku. Alhamdulillah, kini perlahan bayang-bayang Nawang mulai memudar.
Namun, masih ada sesuatu yang tertanam sangat dalam dada ini.
“Dari siapa?” tanya
Kakek Nasir ketika aku menyudahi teleponku.
“Dari
Mak, Kek! Bapak sakit. Beliau sekarang masuk rumah sakit.”
“Nak, pulanglah…!
Kalau kamu ada masalah dengan orang tua kamu selesaikan dengan baik-baik.
Bapakmu sekarang masuk rumah sakit. Dia sakit. Orang sakit tidak hanya perlu
dokter dan obat saja. Dia perlu kekuatan jiwa. Perlu dukungan dari kamu untuk
sembuh!”
Aku diam. Selama ini
yang tahu masalahku hanya Kang Saiful dan temanku Samsudin. Mungkin Kakek tahu
kalau aku mempunyai masalah dengan orang tua karena sikapku tadi yang memutus
telepon? Atau mungkin dia pernah diberitahu Samsudin? Waktu aku masih sangat larut dalam pernikahan
Nawang dan Kang Khoiron, Kang Saiful menghampiri aku suatu malam menanyakan apa
yang terjadi hingga aku sampai di Madura. Akhirnya aku terbuka. Aku
menceritakan semua masalahku kepadan ketua pondok itu. “Kang, kita harus bisa
melupakan masa lalu. kita harus menghadapi masa sekarang, lebih-lebih masa yang
akan datang. Nasib, jodoh, rejeki, dan mati itu sudah diatur oleh Allah sebelum
manusia diciptakan. Jadi, Kang Salman jangan berlarut-larut dalam kesedihan,”
kata Kang Syaiful waktu itu kira-kira satu setengah bulanan aku tinggal
dipondok ini. ”Berarti, Nawang itu tidak jodoh Kang Salman” tambahnya.
Kata-kata
yang keluar dari mulut ketua pondok
itulah yang selalu aku pegang untuk menapaki hidupku di pondok pesantren
ini. Walau kenyataannya sangat berat dan
sulit, tidak semudah yang diucapkan Kang Saipul. Kang Saipul bisa berkata
seperti itu mungkin karena tidak pernah mengalami yang aku rasakan selama ini.
Kalau dia merasakan apa yang aku alami pasti dia juga akan bersikap seperti apa
yang aku lakukan meski dia sudah hapal 30 juz Al-quran. Karena dia juga manusia
biasa yang punya suka dan duka, yang punya bahagia dan derita.
“Entahlah Kek! Aku
sudah tidak ingin pulang. Aku ingin tinggal di Madura sini saja. Aku sudah
tidak ada harapan untuk kembali ke Jawa. Aku ingin menjadi penduduk sini saja!”
“Nak…, apa yang kau
harapkan dari daerah ini? Orang Madura malah banyak yang merantau ke Jawa untuk
mengubah nasib hidup mereka. Kamu orang jawa malah ingin tinggal di Madura ?”
Aku tidak tau harus
bilang apa menjawab kata-kata yang dilontarkan Kakek Nasir. Memang betul daerah
ini pegunungan jauh dari keramaian. Orang sini pekerjaannya bertani bawang
merah dan tembakau. Hasil mereka hanya cukup makan sehari-hari. Karena bawang
merah dari sini harganya jauh rendah jika dibanding bawang merah dari daerahku,
Pati.
“Semua masalah itu
ada penyelesaiannya, Nak! Dah, begini saja! Karena ukuran orang bahagia itu
bukan karena materi. Kalau Nak Salman nyaman dan tenang hidup di sini,
silahkan….! Tetapi kamu pulang dulu temui keluargamu . Kasih semangat dulu
Bapakmu kalau dia sudah sembuh kamu kembali lagi ke sini.” kata Kakek Nasir
sambil menepuk pundakku.
“Ya, Kek!”
“Kamu nanti tidak
usah melanjutkan kerja. Biar aku, anakku dan Samsudin yang melanjutkan
pekerjaan. Insyaallah minggu ini tercukupi dua truk, batu. Sebelum pulang kamu
pamit dulu dengan Bapak Kyai, ya!”
Aku hanya
mengangguk. Karena aku belum bisa memutuskan untuk pulang. Berat rasanya. Aku
sudah tidak punya harapan lagi di Jawa. Aku tidak ingin bertemu Nawang.
“Kek, kita makan di
mana?” Tanya Samsudin kepada Kakek Nasir ketika dia menghampiri kami sambil
membawa dua kantong plastik berisi nasi dan lauk.
Bekal itu aku bawa
dari pondok tadi pagi bersama Samsudin. Nasi yang dicampur jagung dengan
lauk tempe dan telur ditambah sambal
tanpa terasi merupakan makanan kami tiap hari.
“Di sini saja
tempatnya enak!” jawab Kakek Nasir.
Aku dan Samsudin
memetik beberapa daun jati untuk alas makan.
&&&&&
Walau belum larut benar malam sudah
sepi. Samsudin sudah mendengkur beberapa
jam tadi. Sudah separuh lusin rokok yang aku hisap hanya beberapa jam saja.
Bukan karena protes perutku yang hanya aku isi sepiring lontong campur dari warung Cak Nur depan
pondok. Namun pikiranku belum dapat aku ajak terpejam. Pikiranku
melayang-layang ke Jawa. Gairah kangenku kepada Nawang bergeliat lagi. Padahal
kemarin-kemarin rasa kangenku kepadanya sudah mulai padam. Pikiranku dan
kangenku juga merambah kepada Mak dan Bapak. Walau Bapak, orang yang aku benci
selama ini. Aku memaksa sampai di Pamekasan ini juga karena keputusan Bapak.
Mungkin karena darahnya mengalir di tubuhku ini, kangen itu tetap ada.
Tiga bulan yang lalu Bapak masuk rumah
sakit. Beliau dirawat selama sepuluh hari. Meski begitu, aku tidak pulang
melihat keadaan bapak. Padahal antara Pati dan Madura hanya butuh waktu satu
hari. Biarlah aku dianggap oleh orang-orang desaku kalau aku ini anak yang
tidak berbakti. Yang penting aku tidak punya niatan seperti itu. Sebagai
gantinya, aku disini selalu berdo’a dan membacakan surat Fatihah untuk
kesembuhan Bapak. Aku juga berdoa untuk Mak dan saudara-saudaraku. Agar mereka
selalu dilindungi oleh Allah, diberi kesehatan, keselamatan dan dikabulkan
segala keinginan.
Ketika Bapak pulang dari rumah sakit aku
juga diberi tau. Aku hanya dapat mengucapkan syukur alhamdullillah kepada Allah
kalau bapak masih diberi kesembuhan. Aku juga disuruh pulang oleh kakak-kakakku
karena bapak betul-betul kangen kepada aku. Tetapi Aku masih belum siap pulang.
Aku masih belum siap bertemu dengan Nawang. Walau sudah satu tahun lebih, aku
belum bisa membuang perasaanku terhadap Nawang. Perasaan itu timbul tenggelam.
Surut pasang. Mungkin cinta dan kasih sayangku kepada Nawang sudah lama
tertanam dalam di dalam jiwaku ini. Hati dan jiwa Nawang sudah bercampur dalam
urat nadiku. Napas Nawang sudah masuk dalam rongga jantungku. Sehingga aku
sulit melupakannya. Sehingga aku sulit menikam perasaanku kepada wanita yang
kini menjadi kakak iparku. Aku akui dia sangat berarti bagiku. “Nawang….ah….!”
Bertahun aku dan Nawang saling mengasihi.
Cinta Nawang kepadaku sangat tulus, begitu juga aku. Aku selalu teringat kata-kata Nawang waktu prtama kali
aku mengajaknya pergi di Pulau Panjang, sebuah pulau kecil yang terletak dekat
dengan Pantai Kartini, Jepara. Pada saat
itu aku, Nawang dan teman-teman berekreasi ke sana menikmati libur akhir tahun
sekolah. Aku ajak dia mengelilingi pulau kecil itu. Menyaksikan burung-burung
bangau hinggap dan terbang. Melihat bangau-bangau kecil yang mencicit berlatih
terbang.
“
Kang, adek tidak pernah menikah kalau bukan dengan Kang Salman. Adek sangat
cinta, kepada Kakang. Adek sangat sayang
,kepada Kakang. Percayalah Kang….! Hati Nawang hanya untuk Kang Salman seorang.
Hati Nawang tidak akan adek berikannya
kepada yang lain!” kata-kata Nawang waktu itu yang sampai saat ini tertanam di
hatiku.
Begitu lugu dan polos ucapan-ucapan Nawang
kepadaku. Dia juga menatapku dengan dalam dan mencoba meyakinkan aku kalau dia
betul-betul mencintaiku. Ucapan-ucapan Nawang menyentuh perasaanku. Aku tau dia
berkata tulus. Aku tau dia berkata dengan jujur, kata-kata yang diucapkan
keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.
”Terima kasih Nawang. Aku juga sayang...
kepadamu! Aku juga cinta.. kepadamu!” Balasku dengan menatap gadis cantik itu.
Aku juga tulus mengucapkan kalimat itu. Karena gadis yang aku cinta hanya dia,
Nawang Sri Hastuti putra Bapak Jamil, seorang petani kaya di desaku.
Begitu indah hari-hariku saat masih
bersama Nawang. Aku sering mengajak jalan-jalan. Terkadang ia juga yang minta
aku untu mengajaknya jalan-jalan. Bahkan ibunya juga kompak. Beliau sering
menyuruh aku mengajak jalan-jalan Nawang kalau ada hari liburan. Baik libur
semesteran maupun libur akhir tahun. Beliau
selalu mengharap aku untuk dolan-dolan
kerumahnya. Ibu Nawang mengharapkan aku menjadi menantunya. Tetapi aku belum
berani. Karena waktu itu aku baru lulus Aliyah. Aku masih kepengen kuliah.
Nawangpun waktu itu baru lulus Mts. Aku sepakat dengan Nawang kalau dia
melanjutkan sekolahnya sedang aku kuliah. Nanti kalau sudah selesai kuliah aku
akan membawa keluarga besarku ke rumahnya untuk melamar anak kedua Bapak Jamil Noto
Sutanto itu .
Pada saat Nawang lulus aliyah Bapak ke
rumah Nawang. Dia bermaksud meminang Nawang. Terang saja orang tua Nawang
mengiyakan. Karena mereka menganggap Bapak meminang Nawang untuk aku. Saat itu
Nawang juga ditanyai , ia senyum-senyum dan setuju. Ibu Nawang juga berbesar
hati karena dia kira aku menepati janji. Dia kira Bapak ke rumah petani kaya
itu yang menyuruh aku. Mereka sepakat pernikahan di percepat.
Nawang waktu itu mengabari aku kalau
bapak kerumahnya. Begitu gembira hatiku
lebih-lebih Nawang. Kemudian aku putuskan untuk pulang ke rumah. Karena waktu
itu aku masih di Jogja. Setelah aku sampai rumah aku bertanya kepada
Bapak apa betul ia pergi ke rumah Pak Jamil meminang Nawang untukku? Tapi, apa
jawab Bapak? Bapak meminang Nawang untuk Kang Khoirun bukan untuk aku.
Setelah Nawang tahu kalau yang akan
menikah dengannya Kang Khoirun bukan aku, dia protes dengan bapak dan ibunya.
Namun, Bapak Jamil dan istrinya tidak
bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berani menyampaikan masalah itu kepada Bapak. Dengan alasan dia pihak
perempuan, pamalih. Alasan yang kedua dia mengiyakan kata-kata Bapak, “Mil… aku
jaluk anakmu sing cileki yo, tak pek e mantu!”
Aku juga tidak mampu melawan keputusan Bapak.
Hatiku dan hati Nawang hancur. Nawang mengajakku lari dari rumah. Dia tidak mau
menikah dengan kakakku. Pergi ke mana saja yang penting dapat hidup bersamaku.
Dia ingin membangun rumah tangga bersamaku. Aku bagai makan buah si malakama.
Kalau aku kawin lari dengan Nawang bagaimana dengan keluargaku? Bagaimana
dengan nasib Kang Khoiron? Kang khoiron lebih seorang kakak bagiku. Dia sering
memberi aku uang saku. Belikan baju. Lagi pula dia berulang kali gagal masalah
cinta. Umurnya hampir mendekati kepala tiga.
“Kringngngng….!
HP ku bordering. Ah sialan siapa orang
yang malam-malam menelpon? Apa dia tidak tau sopan santun, apa? Apa tidak bisa
menunggu besok pagi kalau ingin menyampaikan informasi? Walau menggerutu aku
raih juga Hp ku yang aku taruh di atas lemari
baju yang tingginya sedadaku.
“Assalamualaikum!” kataku.
“Waalaikum salam wa rohmah!”
O…ternyata Kang Khoiron yang menelponku.
Ada apa malam-malam begini dia menelponku ya…?
“Ada apa Kang, malam-malam telepon, aku?”
“Man!” Suara Kang Khoirun di dalam
telepon.
“Iya, kak! Ada apa?”
“Aku ingin memberi kabar gembira, Man!”
“Kabar gembira? Kabar apa Kak?”
“Akhirnya, kakak akan jadi bapak, Man!”
“Apa Kak?”
“Aku akan jadi bapak, Man! He, he, he….. !”
“Kakak akan jadi Bapa?”
“Ya, Man…!”
“Nawang…eh…Mbak Nawang hamil?”
“Iyya, Man!”
“Alhamdulillah….!” Kataku dengan menahan
napas dan perasaan.
“Bak Yuu Nawang hamil empat bulan. Besok
kamu pulang, yo! Karena, besok Sabtu kakak akan mengadakan selametan!”
“Sabtu kapan,Kak?”
“Ya, Sabtu depan ini!” Awas kalau tidak
pulang!”
“Oh, iya, Kak! Insyaallah Salman akan
pulang.”
Masih banyak lagi yang dibicarakan kang
Khoirun di dalam telepon tentang dirinya, tentang keluarga dan tentang Nawang.
Tetapi, Aku tidak tau harus bagaimana.
Aku hanya sebagai pendengar yang setia. Kabar dari Kang Khoirun membuat aku
bahagia karena kakak akan punya anak dan aku akan punya keponakan. Kabar ini
juga membuat aku makin sakit hati karena Nawang sudah melupakan janji.
Nawang….! Andai saja yang jadi suamimu
bukan Kang Khoirun, kakakku, pasti tidak akan begini nasibku! Pasti bayi yang
kamu kandung ini adalah anakku. Tetapi masalahnya yang jadi suamimu adalah
kakakku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Maafkan aku ya… Nawang…! Kang Khoiron
pasti akan membahagiakan kamu. Dia lebih pantas jadi suamimu daripada aku. Kang
khoirun orangnya lempeng galeng. Pekerja keras. Agamanya tidak kalah
dengan aku. Bahkan sebelum menikah dia sudah mampu membeli sawah. Membangun
rumah. Dia juga sudah menyempurkan Islamnya dengan menunaikan haji ke Makkah
dengan uang sendiri.
Niatku jauh-jauh dari Pati sampai Madura
ini karena aku ingin menutup dan membalut lukaku. Satu tahun bukanlah waktu
yang singkat bagi orang yang patah hati. Satu tahunan aku mengasingkan diri di
sini, di Pulau Garam ini demi untuk memadamkan api. Kalau aku pulang memenuhi
keinginan Kang khoiron, haruskah luka yang sudah aku tutup harus menganga lagi?
Haruskah api yang aku padamkan harus aku sulut lagi?
ditunggu kelanjutannya :)
BalasHapusokey...thank buat km yg tlh ngunjungin blog saya
Hapus