PERJALANAN
KE MAKAM PRABU ANGLING DARMA
oleh: Pak Guru Top
Kurasa malam belum larut benar. Namun
jalanan sudah sangat lengang. Sepi pemakai jalan. Tidak kutemui lalu atau lalang kendaraan. Baik
yang searah maupun berpapasan. Di mana-mana hanya sepi dan gelap. Raja Malam
betul-betul merajai malam. Hanya suara si biru, motorku tanpa teman memecah
sunyinya malam. Si biru mengaum-ngaum suaranya bak singa kelaparan. Lebih-lebih
Ipung yang memegang stang. Si biru dibleyer-bleyer, diajak meliuk-liuk
menyusuri jalan dengan diikuti gerak tubuhnya layaknya seorang pembalap
profesional.
Semakin kencang Ipung menarik
setang semakin tebal perasaan was-was dan cemas itu datang. Kuperhatikan kanan
kiri tidak ada kehidupan. Beberapa kali ku menoleh belakang motor teman-teman
blum ada kelihatan. Padahal berangkat dari rumah besama-sama. Bahkan sampai
alun-alun beli jagung rebus armada juga masih lengkap. Ada aku, Ipung, Kincup,
Fii, Komar, Pandowo dan…
“Pung, Pung, berhenti…!” Teriakku menepuk pundak Ipung
“ Ada apa, Kang!”
“Hentikan si biru!”
“Kenapa, kang!”
“Teman-teman, tidak ada di belakang
kita!”
.“ Baik, Kang!”
Aku menyuruh Ipung menghentikan
langkah si biru karena aku merasa ada keganjilan. Sudah beberapa kali kulihat
ke belakang, namun tidak ada sorot lampu yang beriringan. Walaupun mataku sudah
mendelik sampau jauh ke belakang tidak ada setitik cahaya yang aku tangkap.
Kalau memang teman-teman ada di belakang pastilah lampu-lampu motor mereka ada
walau berapa pun jauh jaraknya.
“Cittt!” bunyi rem si biru diinjak
kaki besar Ipung.
Seketika kecepatan si biru semakin
melambat pelan. Persis di jembatan si biru dihentikan.
“Wah, betul Kang, teman-teman tidak ada
dibelakang! Aku sama sekali tidak menangkap sorot lampu motor mereka. Kalau
mereka ada tentunya ada beberapa cahanya yang beriringan,” kata Ipung setelah
ia mengarahkan pandangannya ke belakang. “ Apa mereka memutar balik ya, Kang!
“Entahlah!”
“Udah kamu hubungi Kang.
“Udah aku WA cuman centang satu.
“Coba ditelpon, Kang.”
Aku mencoba menelpon .
“Terus bagaimana ini, Kang?”
“Kita tunggu saja mereka di sini.”
“Kalau mereka tidak jadi ke
Mlawat?”
“Ya, terpaksa kita pergi ke sana
berdua.”
“Kalau begitu kita langsung ke
Mlawat saja, Kang!”
“Kita tunggu saja mereka di sini,
Pung!”
“Tunggu mereka di sini? Sampai
kapan? Lihatlah, tidak ada cahaya motor-motor mereka! Sampai kapan kita tunggu
di sini, Kang! Kalau mereka bersama kita tentunya mereka di belakang kita!
Kalau mereka tidak jadi ke Mlawat apa kita tetep nunggu ampe pagi!”
“Kita tunggu mereka beberapa saat
Pung!”
Ipung diam. Mungkin dia masih
kesal. Ipung menarik tubuh kekarnya dan bersandar di balkon jembatan. Dia
tampak menghempaskan kekesalan. Dari rumah semangatnya menggebu-gebu ingin
cepat sampai ke Mlawat. Karena Ipung baru kali ini dapat berziarah ke makam
Sang Prabu Angling Darma. Makanya tadi Ipung sempat ngotot kepada teman-teman
agar melekan satu Suro ini pergi ke Dusun Mlawat, Sukolilo saja daripada pergi ke Gunung Muria.
Sedang Rizal ngotot ke Muria. Berziarah
ke makam Kanjeng Sunan Muria. Sementara aku dan teman-teman yang lain makmum
saja. Kemanapun pergi, ngikut. Yang
penting ada acara untuk mengisi malam satu Suro tahun ini. Memang tadi aku,
Faiz, dan Fii agak condong mendukung Ipung malam satu Suronan pergi ke Makam
Prabu Angling Darma, Sukolilo, raja sakti mandraguna yang ceritanya sudah melegenda
di bumi Nusantara ini.
Aku mendukung Ipung memilih ke
makam Angling Darma dengan alasan karena malam satu Muharom tahun ini
bertepatan hari Pasaran Haul Sang Prabu. Pulangnnya mampir ke makam wali yang
fenomenal di Bumi Mina Tani ini, yakni Mbah Syeh Jangkung, Kayen. Jadi satu
dayung dua pulau terlampaui. Aku tidak mendukung Rizal pergi ke Muria karena
setiap tahun kita pergi ke Muria. Ditambah pada
tanggal 10 Suro nanti, kita sudah ada rencana pergi kesana. Karena
tanggal 10 Suro adalah haul Kanjeng Sunan Muria.
Sementara Rizal dan Habib ngotot mengajak melekan malam satu Suronan
di Gunung Muria dengan alasan Muria tempatnya asri, sepi, dan sangat bagus
untuk meditasi. Tentunya wangsit-wangsit akan mudah turun Suro ini. Muria
merupakan tempat pencari wangsit dan meditasi. Yang diburu orang-orang setiap
hari. Lebih-lebih malam ini malam satu Suro tentunya tempat-tempat seperti air
terjun Monthel, air Tiga Rasa dan puncak tertinggi Muria, Saptorenggu dipadati
pengunjung.
“Kalau malam ini pergi ke Muria,
tanggal 10 Suro berangkat lagi ke sana bisa, tidak berangkat juga tidak
apa-apa!” kata Rizal dan Habib tadi.
Untuk menjungjung sikap keadilan
dan demokrasi maka, diundi. Tadi aku yang menjadi bandarnya. Ternyata diundi
tiga kali yang keluar Prabu Angkling Darma berturut-turut. Akhirnya, kita
sepakat pergi ke Sukolilo.
“Kalau tidak salah, sejak keluar
dari Pati Pung, teman-teman sudah tidak
mengikuti kita!”
“Sekarang kita sudah jauh dari Pati. Tentu
mereka pada mutar balik! Atau mereka menilap kita! Ini pasti Rizal yang jadi
biang keroknya!”
Aku diam.
“ Kang, rokoknya masih?”
“Nah, begitu! Dinginkan pikiran
dulu dengan tembakau!
“Masih ndak rokoknya!”
“Nih…!”
Aku sodorkan kepada Ipung dengan
terlebih dulu kusulut satu batang untuk
mengusir hawa dingin yang mulai menggeliat-geliat di tubuhku. Dengan perasaan
masih kesal Ipung meraih rokok dari tanganku. Dengan cepat dibukanya. Ia meraih
satu batang. Kemudian dinyalakan. Dikepulkan asap itu ke udara berbarengan
kekesalan yang menggunung di dadanya.
Kelihatannya mulut Ipung sudah
mulai kecut. Maklumlah dia perokok berat. Kalau malam sedang jagong mulutnya harus selalu diganjal
dengan puntung tembakau. Mulutnya harus selalu mengepulkan asap.
Karena seingatku tadi masih ada
beberapa. Kugerayangi saku jaketku mencari rokok itu. Kukeluarkan benda
berbentuk kotak. Kubuka tutupnya ternyata masih ada enam puntung yang bersarang di dalamnya.
“Nih…!”
“Coba mereka hubungi Kang!”
“Udah dari tadi, tidak bisa. Aku WA
juga tidak terkirim!”
“Kemana mereka!”
“Coba kamu hubungi?”
“Ya, Kang!”
Ipung mengutak-utik HP. Dia mencoba
menghubungi teman-teman.
“HP mereka mati, Kang! Aku SMS dan
aku WA juga tidak terkirim. Terus gimana Kang?”
“Ya, kita tunggu di sini.”
Ipung diam. Kudongakkan kepala ke
atas. Bintang-bintang yang berkelip di langit berangsur-angsur hilang. Rupanya malam ini akan turun hujan. Habib, Rizal, dan
teman yang lain juga belum nongol. Kemana mereka? Kalau tidak salah, mereka
tidak ada dibelakang kami ketika keluar dari Kota Pati. Tepatnya setelah
melewati Penthol Blaru.
“ Pung, yuk…kita berteduh di depan toko itu
saja!”
“Toko yang mana, Kang?”
“Itu..!”
Aku
menunjuk sebuah toko yang bercat kuning muda. Kelihatannya serambi toko
itu nyaman untuk berteduh. Ipung tanpa menawar. Ia mendorong si biru ke depan
toko yang aku maksud. Karena jaraknya hanya beberapa meteran, Ipung tidak
menghidupkan si biru. Ia mendorong si biru.
“Ya, Kang! Jam berapa sekarang,
Kang?”
“Jam 11. 30 menit!” Kataku setelah
kulihat arloji di tanganku.
“ Kang, bagaimana ini? Kita
menunggu di sini atau langsung ke Mlawat?” kata Ipung ketika melihat ke langit.
“Sebaiknya kita tunggu mereka di
sini. Karena kita berangkat dari rumah sama-sama. Nyampai tujuan pun kita harus
sama-sama. Itu namanya teman setia. Ya, kita tunggu lima belasan menit, lagi.
“Yo wis nak ngono, Kang!”
Lima belas menit telah berlalu.
“Kang, mereka tidak liwat juga.
Apa mereka putar balik ya, Kang!”
“Putar balik, gimana?”
“Ya, mereka kembali pulang atau
bisa juga mereka pergi ke Muria!”
“Tidak mungkin, ah!”
“Mungkin saja lo Kang! Kamu tahu
sendiri kan sifatnya Habib dan Rizal. Tentunya mereka berdua memengaruhi
teman-teman.”
“Jangan berpikiran yang
enggak-enggak. Mungkin motor gundalanya Dul mogok. Karena pada saat berangkat
tadi kan mogok a. Atau bisa juga ada
motornya salah satu teman kita yang bannya bocor. Malam-malam gini kan tidak
ada tambal ban!”
“La, terus…kita gimana?”
“Ya, dah begini saja. Kita tunggu
mereka di Makam Sang Prabu. Yuk, kita tunggu di Mlawat saja!”
“Ya, begitu kan lebih baik. Kita di
sana bisa tidur-tiduran dulu. Lagian, di sini banyak nyamuk. Bisa-bisa darahku
habis dihisap nyamuk di sini. Yuk, kita berangkat!”
“Pung, dadaku kok deg-degan kayak
gini ada apa ya!”
“Dadaku berdetak keras, Kang! Ada
apa ya?”
Bulu kulitku juga berdiri. Biasanya
kalau bulu kulit berdiri itu pertanda ada makhluk halus yang mendekat. Aku
harus cepat-cepat mengajak Ipung ke Mlawat. Kalau ada makluk halus yang keluar
bisa berabe.
“Ayo, Pung kita lekas ke Mlawat
mereka tidak kunjung lewat!”
“Iya, Kang!”
Aku naik ke punggung si biru.
Sementara Ipung masih menikmati asap terakhir rokoknya.
“Katanya mau cepat-cepat ke Mlawat
kok masih nyedot!”
Sebentar Kang, nanggung. Kari wenak
e!”
“Ah, kamu itu!”
“Yo wes, ayo cabut!” kata Ipung
ketika dia melemparkan puntung rokok ke jalan.
Belum sempat Ipung memutar kunci
motor, tiba-tiba kami dikejutkan teriakan yang keras.
“Tidak mau…! Aku mau pulang…!”
Aku tersentak kaget. Seketika
darahku mendesir. Dadaku tambah deg-degan.
“Ada apa, Pung?” tanyaku
“Entahlah, Kang! Ada teriakan!”
Kedengarannya suara perempuan yang
berteriak tadi!”
“Darimana tadi arah suara itu?”
“Tidak paham aku, Kang!
Kedengarannya dari arah sana!” Ipung mengarahkan jari telunjuknya ke arah
utara.
“Kang aku kok jadi takut! Tadi itu
teriakan orang, atau hantu ya, Kang!”
“Entahlah….!”
Aku turun dari punggung si
biru. Memasang telinga. Mencari sumber suara teriakan keras tadi.
“Ayo, Kang kita cabut dari sini saja, tadi
pasti hantu penunggu sini! Dia keberatan kalau kita lama-lama di sini, ayo!”
“Tadi, itu kayak suara wanita!”
“Pasti hantu, Kang! Masak ada
perempuan sampai keluyuran malam-malam begini. Ayo, Kang kita cabut saja dari
sini!” kata Ipung dengan menarik-narik bajuku.
“Kalau kita cabut dari sini, kita malah akan
lebih penasaran lagi. Karena kita tidak tau, yang berteriak tadi manusia apa
hantu!”
Aku tidak menghiraukan Ipung. Penasaranku
di puncak paling tinggi. Aku semakin penasaran. Walau aku agak takut, aku
kuatkan nyaliku untuk mengetahui kenyataan sesungguhnya.
“Ya dah Pung, kita pergi dari sini.
Mungkin kamu benar tadi bukan teriakan manusia.”
“Dibilangin tidak percaya! Mana
mungkin ada seorang wanita di malam selarut ini? Ayo kang cepat cabut menuju Mlawat, bulu
kudukku berdiri!”
“Ayo, Pung!”
(Bersambung....)
SILAHKAN BACA KE BAGIAN #2
SILAHKAN BACA KE BAGIAN #2
Posting Komentar