Biarlah Waktu yang Menjawabnya

Oleh: Pak Guru Top

Pagi sangat cerah. Matahari bersinar begitu indah. Burung-burung gelatik berkejar kejaran di atas dahan lalu berkicau di atas jendela-jendela pondok putri. Begitu riangnya mereka seakan mau mengajak bercanda anak pondok putri  yang sedang duduk di bawahnya. Kalau burung itu diperhatikan, mereka malah berkicau panjang dan mengangkat-angkat bulu ekornya. Shintia  hanya senyum saja menyaksikan ulah burung-burung kecil itu. Burung-burung itu sudah akrap dengan dia dan anak-anak pondok putri, sehingga mereka dapat terbang bebas dan membuat sarang sesukanya di atas pintu-pintu dan jendela-jendela kamar pondok..
Shintia merasa bersyukur dapat mondok dan bersekolah di Bahrul Ulum. pondok yang megah, lantai empat. Bangunan madrasah juga mewah. Tapi biaya sangat murah. Sangat jauh jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain. Karena para pengurus yayasan bertekad menyelenggarakan pendidikan dengan biaya yang murah dan berkualitas. Kalau bahasa Bapak Yai selaku ketua pengurus yayasan dan pengasuh pesantren menyebut, murah tapi tidak murahan.
Di sini, antara ilmu umum dan ilmu agama seimbang dan tidak dibeda-bedakan. Semuanya  adalah ilmu yang harus dipelajari setiap santri. Bapak Yai menamai ilmu umum dengan ilmu dunia, sedang ilmu agama dengan  sebutan ilmu akhirat. Wajib hukumnya bagi santri mempelajari dua-duanya. Semua berjalan berdampingan. Tidak ada dikotomi pendidikan.
Sekolah di sini juga unik. Harus lulus hafalan. Santri tingkat Mts. harus menghafalkan alfiyah untuk dapat naik kelas. Sedangkan santri tingkat MA harus hapal Qowaidul Fiqhiyah. Jika tidak hapal santri harus mengulang satu tahun ke depan alias ngawak. Namun, bagi Shintia hapalan sudah tidak jadi masalah. Dia, sejak kecil dikenalkan hapalan oleh bapaknya.
Di sini, pondok dan madrasah  satu yayasan. Pengelolaan jadi satu. Di Bahrul ulum ini sangat menjunjung tinggi supremasi aturan. Kediplisinan paling diutamakan. Siapa saja yang melanggar pasti kena hukuman. Itu berlaku setiap santri. Tidak peduli Walaupun itu dari keluaga pengurus yayasan sendiri atau dari dalem. Semua tidak ada yang kebal hukum. Aturan harus ditegakkan.
Pagi ini Shintia begitu malas mencuci baju. Les ekonomi diganti hari Ahad. Dia duduk malas memandang pemandangan yang sama setiap harinya. Dia telah membaca surat Muflih lebih dari sepuluh kali. Namun, Shintia masih enggan untuk menulis balasan surat itu. Walau Lia sudah berkali-kali menanyakan balasan surat kepadanya. Terang saja karena surat itu dia terima tiga hari yang lalu. Tentunya, si pengirim sudah gelisah tak tentu menunggu jawaban isi hati orang yang menerima suratnya.

“Aku  tau Muflih sangat menyukaiku. Itu aku tau dari cara dia menatap  wajahku. Aku juga tau saat ia berusaha menyembunyikan tingkah lakunya dari aku setiap kali aku berpapasan dengan dia pada saat pulang les dan akan berangkat sekolah. Tatapan matanya saat bertemu dengan mataku begitu dalam. Penuh  makna. Penuh gelora.  Walau dia tanpa berkirim surat kepadaku untuk menyatakan isi hatinya, aku sudah tau yang tersembunyi dalam bilik hatinya. Di dalam hatinya ada perasaan cinta kepadaku. Aku juga begitu, dalam dada ini bergetar saat aku ketemu dia. Aku tidak bisa menyembunyikan pesonanya. Aku jatuh cinta” Shintia mulai menjajaki hati muflih lewat tatapan-tatapan mata saat bertemu. Pikirannya terus dimasuki kenangan silih berganti saat bertemu Muflih.

“Shintia kalau kamu tidak suka sama Muflih katakan sejujurnya. Kamu jangan menggantung hatinya. Dia mengharapkan jawaban darimu. Apapun keputusanmu itu akan dia terima,” kata-kata Lia mengusir kenangan-kenangan yang coba dihadirkan Shintia.
“Terus terang Lia, aku harus berpikir seratus kali untuk menerima cintanya.”
“Kenapa kamu harus berpikir? Semua hal  yang dianjurkan agama dalam menentukan pasangan hidup ada pada dia. Dia ganteng. Tajir. Alim. Emm…pokoknya baaanyak dech!”
“Justru itu, Lia! Justru itu aku takut kepadanya. Karena, kamu tau sendirikan, siapa aku? Aku ini anak orang miskin. Orang tuaku tidak punya apa-apa. Keluargaku juga tidak sempurna. Kamu pernah ke rumah aku kan? Rumahku kecil, berdinding bambu. Di dalam rumah juga tidak ada apa-apanya. Meja dan kursi tamu saja tidak punya jangankan motor, TV, kulkas, almari pun tidak ada.
“Shintia, apa  cinta Muflih akan mengukur itu semua? Tidakkan?! Muflih cinta kepadamu tulus dari hatinya yang paling dalam. Status kamu tidak akan mengubah hatinya. Kemiskinan kamu tak kan menggoyahkan ketulusan cintanya. Dia sudah tau kamu dan kehidupan kamu. Bahkan semuanya tentang kamu.”
Entahlah, Lia! Aku belum mampu menggoreskan kata-kata untuk membalas suratnya. Aku juga tidak tau harus bagaimana.
“Tapi, kamu suka kan….? Hayo ngaku…!” Lia mulai menggoda.
“Itu rahasia. privasi dong! He…he..he…”
“Alah…! Kamu pertama melihat dia, mripatmu ra kedep ngono,kok! Anak kecil di depan kamu, ampe kamu tidak tau. Kamu  nabrak anak itu ampe nangis. Untung waktu itu ortunya tidak marah. orangnya baik. kalau tidak baik, mereka tentunya menghajar kita.”
“Eh…jangan su’udzon ya! Aku nabrak anak kecil karena aku dipanggil Lina bukan aku terpesona melihat wajah Muflih! Gara-gara Lina aku ampe begitu, bukan karna Muflih”
“Trus, siapa gadis cantik yang gugup waktu didekati Muflih di pinggir pantai di Taman Kartini waktu itu? Apa aku,,,,? Atau, Lina?”sindir Lia.
“Siapa, ya….?”
Kemudian Shintia diam saja. Shintia hanya senyum-senyum mengingat kejadian itu. Soalnya waktu itu dia  tidak tau Muflih ada di depannya. Pas, dia mencoba mencari-cari keberadaan Muflih, eh… malah dia ada di dekat Shintia. La, siapa yang tak gugup?

Pertama kali Shintia bertemu Muflih di Taman Kartini Rembang. Waktu itu dia tidak sengaja bertemu dengan Muflih. Shintia pergi ke Taman Kartini bersama teman-teman habis mengadakan rapat di rumah Risa. Biasa! Anak pondok kalau pulang liburan semester, hari pertama mengadakan rapat . Karena, kalau hari pertama mereka masih bisa kumpul. Hari pertama liburan, anak-anak pondok belum pulang ke rumah masing-masing. Mereka sengaja membuat pertemuan. Maklumlah, pondok Bahrul Ulum santrinya tidak hanya dari daerah Pati saja, tetapi dari berbagai pulau di negeri tercinta ini. Mereka ada yang dari Sumatra, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Kalimantan bahkan ada yang dari Papua. Jadi hari pertama sangat tepat mengadakan perkumpulan.
Kebetulan rumah Risa dekat dengan  Taman Kartini. Jadi, Shintia dengan teman-teman ikut merasakan keindahan taman itu. Eh,…. Malah ketemu Muflih. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Selama ini Shintia kenal dia hanya lewat cerita teman-teman. Belum tau melihat wajahnya secara langsung. Karena sekolah di madrasahnya anak putri dan anak putra dibedakan. Kalau anak laki-laki masuk pagi sedang anak putri masuk siang. Mereka tidak saling ketemu. Santri putri bisa ketemu santri putra kalau madrasah ada acara HUT atau HAUL pendiri pondok pesantren. Atau  mereka mencuri-curi mengadakan pertemuan sesuai program masing-masing dengan anak laki-laki. Kalau menurut santri PT alias Pertemuan. Tapi kalau pihak pondok tahu, semua santri yang mengadakan PT akan di BAP alias Batas Akhir Pelanggaran. Ini merupakan peringatan yang terakhir, kalau santri melakukan pelanggaran lagi, dia harus siap dikembalikan ke orang tuanya.
Muflih adalah santri yang menjadi idola setiap santri putri. Namanya jadi perbincangan ketika dia diangkat menjadi ketua ISBU Putra. Disamping dia terkenal macho dia juga pinter segala hal. Di kelas dia selalu menduduki rangking pertama. Dia pinter bahasa Inggris. Fasih berbahasa Arab.  Muflih anak orang kaya, baik budi bahasa. Pokoknya, dia begitu sempurna.
“E ... e..e..e! kog malah bengong! Lia membuyarkan lamunan Shintia. “ anak gadis tidak baik , melamun pagi-pagi, tau!”
Setelah njenggung kepala Shintia, kemudian Lia pergi ke kamar mandi. Gadis itu hilang dari pandangan Shintia ketika masuk di koridor kamar mandi yang bersebelahan dengan kamar pondoknya. Lia sudah dianggap sebagai keluarga oleh Shintia. Selama Shintia mondok di Bahrul Ulum ini Lia banyak membantunya. Dia lah malaikat penolongnya. Dia selalu ada, saat Shintia butuh bantuan terutama masalah uang. Lia  anak seorang pengusaha kaya dari Jepara. Tetapi dia tidak pernah menonjolkan kekayaannya. Dia tidak sombong. Dia hidup dalam kesederhanaan sama seperti teman-teman pada umumnya.  
“Lia, aku mau minta pendapat kamu. Baiknya aku terima atau aku tolak cinta Muflih. Tolong aku beri masukan. Aku betul-betul bingung masalah ini.”
“Kamu suka nggak, sama dia?”
“Banget!”
“Kalau kamu suka. Terima saja.”
“Aku takut.”
“Takut sama siapa?”
“Banyak!”
“Maksud kamu?”
“Gini, lo…! Aku ini anak miskin. Apa pantes aku menjalin  asmara dengan dia?”
”Pantes. Shintia, cinta tidak memandang harta. Cinta tidak kenal kedudukan. Cinta hanya kenal pengorbanan. Cinta hanya kenal kesetiaan. Kau tau Shin, walau Khamid seorang pak bon, dia tetep aku terima. Dia tetap aku cinta. Bahkan cintaku. Ketulusanku, dan kesetiaanku , Aku berikan kepada Khamid. Kamu tahu khamidkan?”
Sintia hanya mengangguk. Dia kenal dan tahu siapa Khamid, pak bon madrasah. karena dia sering melihat pemuda itu membersihkan madrasah pagi dan sore hari.
“Kamu suka kan ma Muflih?”tanya Lia karena melihat sahabatnya itu hanya diam saja. 
“Tidak tau. ..”
“Kok, tidak tau?”
“Aku takut kepada bapakku. Aku tidak mau menghancurkan harapan beliau. Aku tidak mau bapakku sakit hati karena ulahku. Harapan dan cita-citanya hanya aku. Dia bekerja keras membanting tulang agar aku dapat sekolah dan mondok di sini. Bapakku selalu berharap aku dapat lulus di sini. Dia mengiginkan aku bisa baca kitab. Kamu tau, seluruh hidup ayahku dicurahkan untuk aku, anak semata wayangnya. Ibu meninggal waktu ngelahirin aku. Sedang ayahku tidak menikah lagi. Karena ayahku tidak mau aku menderita. Ayahku tidak mau aku diasuh ibu tiri. Dia tidak mau kalau jalan masa depanku akan terkubur. Kau tau umur ayahku ketika ditinggal ibu?
Lia hanya diam. Ia menggelengkan kepala.
“Ayahku baru berumur 25 tahun,” setelah diam sebentar, Shintia melanjutkan . “Ya, 25 lima tahun. Dia masih sangat muda waktu itu. Baru satu tahun membina rumah tangga. Bayangkan, seumur itu seharusnya dia butuh kasih sayang seorang wanita. Butuh belaian seorang istri.  Butuh  dukungan. Butuh bantuan untuk membesarkan aku. Tetapi, aku dibesarkan sendiri oleh bapakku. Dia berikan seluruh hidupnya buat aku. Dia jadi bapak dan juga jadi ibu buat aku. Pernah dulu dia dicintai janda kaya. Waktu itu umurku 6 tahun. Hubungan bapakku dengan janda itu akan sampai pernikahan. Tetapi Bapak membatalkannya. Dia lebih bahagia memilih hidup bersama aku daripada janda itu. Dia tidak mau aku diasuh ibu tiri. Dia lebih mendekatkan diri kepada Allah dan bekerja seadanya untuk hidup kami.”
“Subhanallah….! Jadi bapak kamu tidak menikah lagi?  Aku ikut berduka atas kematian ibumu. Dan aku salut terhadap pengorbanan bapakmu. Shintia, kamu sangat beruntung memiliki bapak yang sangat menyayangimu. Terus rencana kamu tentang Muflih?”
“Aku tidak tau.”
“Apa aku sampaikan pada muflih bahwa kamu tidak bisa menerima cintanya?”
“Jangan dulu Lia, aku kepingin masukan pendapat dari kamu. Kalau menurutmu aku harus bagaimana?”
“Wah, aku juga tidak tahu. Aku pun tidak bisa kasih saran untuk kamu tentang masalah itu. Semua keputusan ada ditangan kamu. Tetapi, aku mendukung apapun keputusan kamu.”
“Kalau begitu aku masih butuh waktu untuk berpikir menjawab surat Muflih.”
“ Okey, kalau begitu.
Setelah Lia pergi. Shintia mencoba menggoreskan pena. Dia mulai merangkai kata-kata.  Kebetulan teman-teman sekamar lagi tidak ada. Jadi inilah saatnya dia bisa menulis surat tanpa ragu dan tanpa takut kalau isi suratnya diketahui teman sekamarnya. Kemudian, gadis yang memiliki kulit putih itu mencoba menguraikan perasaannya kata demi kata. Dia tuangkan semua kegelisahan, kegalauan dan ketakutannya. Walau banyak kertas yang terbuang percuma atas goresan tangannya yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Akhirnya,  dia mampu menuangkan maksud hatinya dan memantapkan isi hati dalam suratnya itu.
&&&&&&&
“Kang, Muflih! Aku dapat titipan surat dari Shintia,” kata Khamid kepada muflih dengan suara lirih ketika bertemu di aula pondok putra.” Ini Kang suratnya!” tambahnya.
Kemudian, Khamid mengelurkan surat yang terselip di songkok hitamnya itu. Surat itu diberikan Shintia tadi sore pada saat Khamid disuruh bantu ngepel ndalem. Tentunya terlebih dulu diadakan barter. Khamid memberikan suratnya kepada Shintia untuk diberikan kepada Lia, sahabat Shintia. Lalu disusul surat Shintia diberikan kepada Khamid untuk diberikan kepada Muflih.  
Muflih, dengan cepat menangkap surat yang ada di tangan Khamid sambil memperhatikan keadaan kanan dan kiri. Hati Muflih sangat gembira setelah surat dari Shintia ada di gegamannya. Sinar matanya berbinar-binar. Sepertinya dia mendapat pengharapan yang sangat besar.
Matur nuwun ya, Kang!” Suara Muflih kepada Khamid setengah berbisik. 
“ Biasa wae, Kang!Ya, sama-sama….!
Kemudian, Muflih bergegas menuju ke kantor sekretariat pondok putra sedang Khamid, sahabatnya mengikuti dari belakang. Muflih tahu kalau kantor lagi sepi karena pengurus pasti lagi  keliling ronda jam belajar. Maklumlah ini baru pukul 21.00 WIB. Jam belajar sampai pukul 22.00. WIB. Tentunya pengurus pondok putra menyebar sesuai pos masing-masing. Sesampai di kantor sekretarit pondok, dia membuka surat yang baunya wangi itu.  Tanpa disuruh dan dikasih tahu Khamid berdiri di dekat pintu, dia bersikap layaknya penjaga pintu. Pak Bon madrasah itu sesekali melihat kelur kamar, takut kalau ada orang yang datang,  lebih-lebih kalau yang datang lurah pondok.
Muflih mulai membaca kata demi kata surat dari Shintia, gadis cantik yang telah dipilihnya menjadi tambatan hatinya.
Buat  Kang Muflih 
Di Kelas XII BHS 1 MA Bahrul Ulum
atau di Kamar Abu Bakar Asssyidig
Pesantren bahrul Ulum
Pati Jawa Tengah

Assalamualaikum wr.wb.
Terlebih dahulu Shintia mengucapkan puji syukur kepada Alloh Yang Maha Kuasa yang telah menciptakan kita dari jenis yang berbeda. Yang telah menanamkan cinta kepada kita. Sholawat serta salam selalu kita lantunkan kepada beliau Baginda Rasulullah SAW semoga cinta kasih beliau tercurah kepada kita. Dari dunia hingga akhir pembalasan nanti. Amin!
Langsung  saja Kang....!
Aku tidak tau mau mengucap apa dan mau menulis kata apa. Aku hanya bisa mengucapkan syukur Alhamdulillah kalau Allah telah menyemaikan dan menumbuhkan benih cinta dalam hati setiap insan manusia . Lebih-lebih kepada kita.
Kang Muflih….
Surat Kang Muflih sudah aku terima dan sudah aku baca. Aku sangat berbunga-bunga dan menitikkan air mata saat membacanya. Aku sangat tersanjung dan terharu, saat Kang Muflih mengucap cinta kepadaku. Aku menaruh harapan besar kepada Kang Muflih untuk menjadi Imam dalam hidupku. Menharap Kang Muflih menjadi bapak dari anak-anakku nanti.
Begini, kang....!! Bapak sangat mencintaiku. Aku juga sangat mencintai Bapakku. Karena beliaulah aku  hidup. Karena akulah beliau bertahan hidup. Keputusan beliau adalah keputusanku. Aku tidak bisa menjawab cinta Kang Muflih. Jawaban Bapak adalah jawabanku. Kalau Kang Muflih mencintai aku, temui bapakku. Dia yang pantas mengatur hidupku. Aku tidak mau mengecewakan beliau. Kamu tanya Gufron saja tentang aku. Gufron teman sebangkumu itu. Dia tau semua kehidupanku. Gufron satu desa dengan aku. Dia temanku sejak Taman Kanak-Kanak. 
Oh, ya kang…!
Kita tidak usah berkiriman surat lagi. Bukan aku tidak mau berkirim surat, tetapi kalau surat kita tertangkap kita bisa dikeluarkan dari pesantren ini. Aku tidak mau kita keluar dari pesantren ini dengan suul khotimah. Aku ingin keluar dari pesantren ini dengan khusnul khotimah. Kita keluar karena kita sudah purna dan diwisuda.
Sudah dulu ya, kang…!
Maafkan Shintia kalau selama ini ada salah kepada Kang Muflih. Shintia juga minta maaf atas keterlambatan balasan surat Kang Muflih. Kalau bapak tidak merestui hubungan kita. Semoga suatu hari nanti kita dapat dipertemukan ya, Kang! Amin…!  
Waalaikum salam wr.wb
Dari penghuni Kamar Almina
                                                                                                           
                                                                                                Shintia
            “Bagaimana isi surat shintia kang? Apa shintia menerima cinta Kang Mufli?” kata Khamid kepada Muflih ketika muflih selesai membaca surat itu.
            “Kalau aku simpulkan sih menerima. Tetapi dia tidak bisa menjawabnya, Kang!”
            “Maksutnya?”
            “Aku juga gak ngerti maksud Shintia. Mengapa soal pribadinya dia serahkan kepada Bapaknya? Dalam suratnya, kalau dia tulus mencintaiku aku harus menemui Bapaknya.”
            “Apa Kang Muflih akan menemui bapaknya?”
            “Tidak tahuklah Kang! Masih banyak hal yang aku pertimbangkan.”
            Kedua sahabat karib itu diam dan saling pandang. Mulut mereka dikunci kesunyian. Banyak hal yang dipertimbangkan Muflih untuk menjumpai bapak Shintia. Selain statusnya masih sekolah dia juga belum berani menghadapi sikap keras keluarganya jika menentang hubungannya dengan Shintia. Ayah dan ibunya berpendirian keras. Sikap kedua orang tuanya jauh berbeda dengan kakeknya. Kalau kakeknya selalu mendukungnya. Dari kakeknyalah dia mengerti organisasi dan bersikap sebagai laki-laki sejati.
            “Mengapa soal cinta saja harus bapaknya yang menanggungnya?” guman Muflih dalam hatinya.
Dua jam yang lalu, jam malam sudah diumumkan oleh keamanan pondok. Muflih, Khamid dan Gufron mengendap-endap menuju ke lantai empat. Seperti malam-malam sebelumnya dan seperti anak-anak pondok umumnya, kalau belum bisa tidur mereka berkumpul di lantai paling atas itu. Dimana mereka secara bebas dapat melihat bintang yang berkelip di langit. Dan bisa menyampaikan rindu kepada kekasih lewat sang rembulan. Atau, tempat untuk bermunajad langsung kepada Allah SWT.
Setelah melewati tangga kompleks E, mereka belok kekanan menuju tangga yang menghubungkan ke lantai empat itu. Kemudian mereka menaiki beberapa anak tangga sampailah dia di lantai empat.  Di lantai empat Muflih menatap langit yang berpendar cahaya. Bulan bersinar begitu terang. Lewat sinar rembulan Muflih menyampaikan pesan kepada Shinthia.
“Bulan…! Sampaikan rinduku kepada Shintia. Katakan kepadanya bahwa Muflih selalu merindukannya. Katakan juga bahwa Muflih akan datang melamarnya. Muflih akan jadikan dia sebagai permaisuri dalam istana! Waktulah yang akan Menjawabnya!” teriak Muflih lirih sambil menatap Dewi Malam itu. Sementara Khamid dan Ghufron berada di samping kanan dan kirinya memegang pundaknya.

Muflih menerawang jauh ke atas angkasa. Pikirannya mengitari bintang-bintang yang  bergelantung dan berkedip-kedip di atas sana. Angan-angan untuk hidup bersama Shintia semakin sempurna setelah mendengarkan cerita Ghufron, sahabat karibnya tentang kehidupan Shintia sesungguhnya. Kemiskinan dan kekurangan Shintia tak akan merubah haluan cintanya. Setelah wisuda nanti, dia akan menemui  bapaknya Shintia untuk  meminta restu hubungannya. 

Posting Komentar

 
Top