Oleh
: Pak Guru Top
Dingin
malam mulai merayap ke seluruh tubuhku, menggumpal di dada, tajam mengiris relung hatiku. Kokok Si Jalu,
ayam jantan milik Kak Lutfi disambut beberapa kokok ayam tetangga yang lain semakin
mendebarkanku. Malam beberapa jam lagi
akan digantikan pagi. Perasaanku semakin
dikuasai rasa cemas dan takut . Aku semakin takut berjumpa dengan pagi.
Aku takut meninggalkan kota ini. Aku takut berpisah dengan ayah, ibu, dan
adikku Andika. Aku takut meninggalkan semuanya.
Entah
kenapa perasaan takut dan gelisah yang berkali kuusir selalu kembali lagi
hinggap di hatiku ini. Mengacak-ngacak batin dan perasaanku ini. Mungkin,
karena aku belum pernah pergi jauh dari orang-orang yang aku sayangi.
Orang-orang yang selama ini mampu
membuat aku mengerti tentang hidup. Mengenal kasih sayang. Sehingga, aku tak
ingin berpisah jauh dari mereka. Kalau aku berani mengatakan kepada Ayah, lebih
baik aku memilih belajar ngaji di daerah sini saja, di daerah Pati dari pada
harus ngaji dan mondok di Jawa Timur. Bahkan kalau perlu tidak usah mondok sekalian. Tapi, aku tidak berani. Aku tidak punya
nyali. Aku tidak ingin menjadi anak yang tidak berbakti. Walau aku berat hati
aku tetap memenuhi keinginan Ayah dan ibu. Aku ingin mewujudkan harapan
mereka.
Pukul 09.00 pagi nanti jadwal kenberangkatanku
pergi mondok. Sebetulnya, aku berangkat pergi mondok dua hari yang lalu.
Tetapi, dengan banyak pertimbangan Ayah memilih hari ini. Saat ayah memberi
tahu kalau keberangkatanku ditunda dua hari lagi, aku bersorak kegirangan.
Sikapku kayak anak kecil yang melihat
ibunya pulang dari pasar membawa jajanan. Entah apa yang aku pikirkan waktu
itu, mengapa aku bersorak kegirangan, yang jelas ada rasa bahagia dalam dada.
Sebetulnya,
aku tidak ingin meninggalkan kota ini bukan hanya harus jauh dari adikku atau
kedua orang tuaku. Tetapi, ada orang lain yang membuat aku tidak mampu jauh
dengannya. Dia adalah mas Syaiful. Pemuda yang baru aku kenal sebulan yang lalu
yang mampu menyemaikan benih rasa cinta dan belas kasihku di dalam dada. Walau
aku kenal dia baru sebulan, namun aku merasa
sudah pernah kenal Mas Iful di kehidupan sebelumnya. Rasanya aku sudah
lama mengenalnya.
Mas
Syaiful adalah seorang pemuda desa tetangga . Tetapi, selama ini aku belum
pernah kenal dia. Padahal dia bersekolah
satu sekolah dengan aku. Dia seangkatan dengan aku. Dia mantan kelas XII IPS 1,
sedang aku mantan kelas XII IPA 4. Bahkan Mas Syaiful satu kelas dengan Kak
Lutfi anak Pakde Wongso. Namun aku tidak pernah kenal dia. Mungkin, karena aku
tidak pernah keluar rumah selain sekolah. Aku
takut dengan ayah. Aku tidak pernah jala-jalan seperti teman-temanku,
pergi ke warnet, pergi ke Luwes , ke Gunung Rowo, ke Muria dan lain-lain. Kalau
aku jalan-jalan hanya bersama dengan
keluarga saja.
Kisahku
kenal dengan Mas Iful ( panggilan untuk Mas Syaiful) ketika aku bermalam di rumah Pak Thoriq. Waktu itu, Aku ke rumah Pak
Thoriq karena diajak Annisa, dan Tisna. Mereka berdua adalah teman sekelasku.
Mereka pergi ke rumah Pak Thoriq ingin dolan ke rumah adik kelas kami, Bintang, anak Pak Thoriq.
Bintang adalah teman satu kamar di pondok dengan Annisa dan Tisna. Ketika itu,
Ayah memperbolehkan aku bermalam di rumah Bintang karena keluarga Pak Thoriq
sudah dianggap sebagai saudara oleh Ayah. Ayah dan ibuku mengenal baik dengan
keluarga Pak Thoriq. Pak Thorik, istri dan
kelurganya sudah pernah berkunjung ke rumah kami.
Awal
bertemu dengan Mas Iful, biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Belum ada cinta
pada pandangan pertama. Tidak ada yang aneh dalam diriku. Kulihat juga tidak
ada yang aneh dengan diri Mas Iful. Aku menganggapnya waja-wajar saja. Saat
perbincangan di rumah Pak Thoriq. Berkali pandang kita bertemu, aku tidak
merasakan keganjilan dalam jiwa. Mas Iful juga kelihatan wajar saja. Tatapan
matanya yang mengarah padaku tidak menyiratkan makna.
Perasaan
aneh yang aku rasakan muncul sewaktu perjalanan pulang dari rumah Pak Thorik.
Waktu Mas Iful, Kak Lufti dan kawan-kawanya mengantar kami pulang. Saat aku
diboncengkan Mas Iful, ada keanehan dalam diriku. Ada hawa hangat yang menyalur
ke seluruh tubuh. Hawa hangat itu membuat hatiku diacak-acak, diaduk-aduk dengan perasaan yang tak tentu. Ada rasa
gelisah, kacau, berdebar tak tentu. Disamping itu, dalam jiwaku terselip rasa
aman, nyaman dan damai yang tak pernah aku rasakan bersama orang-orang yang
selama ini mengelilingi aku. Perasaan itu tak seperti perasaanku kepada ayah
dan ibuku. Perasaan itu juga tidak seperti perasaanku kepada adikku Andika dan
Bak Aini, kakakku.
Apalagi
saat di pertigaan jalan, saat Mas Iful tiba-tiba menarik rem motornya karena
ada orang menyeberang secara tiba-tiba yang tidak tertangkap oleh pandangan Mas
Iful. Secara reflek tanganku meraih pinggang Mas iful dan mencengkeram kuat
pinggangnya. Jantungku bergetar keras. aku mulai merasa ada hal yang tidak
wajar dalam tubuhku. Ditambah lagi saat selayang pandang di depan rumah, saat
dia menurunkan aku. Walau masih remang, aku dapat menangkap senyumnya.
Setelah
perkenalan di rumah Pak Thotiq kejadian-kejadian aneh dalam tubuhku semakin
berlanjut. Perasaan aneh itu mencapai puncak pada saat berekreasi ke Jepara di
Pantai Bandengan. Mas Iful mulai mendekati aku ketika perjalanan pergi ke Pulau
Panjang. Waktu itu aku terkejut dia duduk di sebelahku.
“Dik, boleh aku duduk
di sini?”
Kata-katanya
mendebarkan jantungku. Aku tak mampu mengucapkan kata-kata. Aku hanya
senyum-senyum saja dan menganggukkan kepala. Kemudian Mas Syaiful duduk di
sebelahku. Sebelum duduk dia mendaratkan pandangannya ke arahku. Aku jadi grogi
dan malu. Untuk menutupi rasa malu dan tersipu, aku buang mukaku ke kiri,
kupandangi ombak yang mengguyur kapal kecil yang kami tumpangi, kapal jasa
penyeberangan antara Pantai Bandengan dengan Pulau panjang. Mas Saiful juga
membuang mukanya ke kiri pura-pura melihat aksi teman-teman yang lucu. Padahal
aku tahu dia juga tersipu.
Selama
seperempat jam kami sudah sampai Pulau Panjang. Selama perjalanan ke Pulau
Panjang kami hanya bungkam. Entahlah, aku tidak mampu mengeluarkan kata-kata.
Mas Syaiful juga begitu. Badanku dingin, menggigil bukan karena angin dan
ombak, tapi aku tak tahan menahan gejolak yang ada di dada. Perasaan
meluap-luap tak tentu arahnya. Aku tak punya kata-kata. Kalimat yang sudah aku
rancang tak mampu aku keluarkan dari mulutku. Tenggorokanku terasa tercekik.
Sehingga kupilih diam.
Setelah
sampai di Pulau Panjang. Aku dan teman-teman mengelilingi pulau penuh misteri
itu. Aku dan Mas Iful tidak melalukan pembicaraan yang serius. Aku, Mas Iful
dan teman-teman hanya berjalan mengitari pulau kecil itu. Berfoto dan
ketawa-ketawa kecil melihat tingkah laku Kincup yang sok jago. Kincup kadang
foto menendang, melompat, menggunting dll. Tetapi, aku selalu dibuat tersipu
Mas Iful. Kadang dia menatap aku lama. Kadang mencari perhatianku. Kadang
mencuri perhatian dariku.
Setelah
waktu yang diberikan kepada kami oleh jasa penyeberangan kurang sepuluh menit.
Tiba-tiba Mas Iful memberi isyarat kepadaku untuk menjauh dari rombongan
teman-teman. Aku anggukkan kepala tanda persetujuan. Kemudian, dia mulai
memisahkan diri dari rombongan. Aku menyusul belakangan. Tepat, di bawah rimbun
pepohanan dekat batu-batuan dia berhenti. Dia memandang ombak yang menghantam
bebatuan. Dia menarik napas panjang. Lalu dia berbalik dan memandang ke arahku.
“Aku
ingin membacakan sebuah puisi. Apa kamu mau mendengarkan?”
“Mau,”
kataku.
“Puisi
ini kutulis untuk mewakili jiwa dan batinku.”
Aku
mengangguk. Kemudian dia mengelurkan kertas dari sakunya. Sebelum membaca puisi,
Mas Ipul memetik kuncup bunga yang berada di sampingnya. Bunga itu diberikan
kepadaku. Sebagai tanda cintanya kepadaku. Aku semakin terharu. Perasaanku
bertambah meluap-luap, menggulung dan menggunung. Sebelum membaca puisi dia
menarik napas tiga kali. Dia menerawang jauh ke angkasa. Perlahan dibacakan
perlarik puisinya. Setip kata yang diucapkan membuat aku melambung di atas
awan. Perasaanku berenang-renang di setiap untaian kata-katanya.
………
Kamu akan jadi milikku
selamanya
Dan
Selamanya Kamu akan jadi milikku
Sangat
sempurna ucapan cintanya. Sangat menyentuh ucapan janji setianya. Walau ucapan
cintanya, walau janji setianya lewat puisinya. Akan kuikatkan hatiku pada
hatinya. Dua baris terakhir itulah yang masih aku ingat sampai saat ini dan
akan aku simpan dalam lubuk hati selama-lamanya. Dua baris terakhir itulah yang
akan aku perjuangkan kelak nanti dihadapan ayah dan ibu.
Setelah
kejadian itu. Kami SMS-an, telepon-an. Mas Syaiful juga memberi sebuah sarung
kepadaku untuk menguatkan cintanya. Kemudian aku balas pemberiannya itu, ku
berikan kaos kesukaanku kepadanya untuk
meredam rindunya. Kata cinta, janji setia terucap tidak terkira. Selalu muncul
dan bertebaran bagai jamur di musim hujan. Dia juga menandaskan, janjinya tidak
hanya diucapkan tetapi akan
dibuktikan.
Setiap detik, menit, jam, dan hari aku semakin
terbayang wajah Mas Iful. Perasaan rindu, ingin bertemu, ingin memandang
wajahnya dan mencurahkan beban hidup kepadanya semakin kuat. Emajinasiku kadang
keblabasan. Saat aku menghadiri pernikahan tetangga atau teman, ketika kulihat
mereka duduk di kursi pengantin, kubayangkan yang duduk di kursi adalah aku
dengan Mas Iful. Kadang juga, kulihat ada orang berboncengan di jalan, si
wanita memeluk erat suaminya, kubayangkan aku berboncengan dengan suamiku, Mas
Iful dengan ku peluk erat harum tubuhnya.
#Pak Guru Top
#Pak Guru Tops
#Pak Guru Top
#Pak Guru Tops


Posting Komentar