BAGIAN
8
WARUNG
KOPI DEPAN MAKAM
Sebetulnya
aku tidak mau mengambil pusing masalah Windi. Aku bisa membiarkan begitu saja walaupun dia datang
meminta tolong kepadaku berpuluh kali. Aku tidak takut jika dia hantu yang
mengerikan. Akan tetapi semakin aku cuek dengan masalah Windi, rasa ibaku
mendalam kepadanya datang bertubi. Rasa keingintahuanku tentang dirinya,
kehidupannya, dan keanehan-keanehan juga semakin menjadi.
“Mungkin,
Windi yang kita cari bukan penduduk sini, Kang “Kita sudah tanya beberapa orang
bahkan kita sudah menyusur seluruh desa ini tetapi tidak ada gadis yang
meninggal yang bernama Windi . Ada namanya sama, Windi, anaknya Pak Lurah desa
sini. Namun, Windi anak Pak Lurah masih seger
waras. Masih sehat jasmani dan rohani. Sementara Windi yang kita cari
adalah seorang gadis yang sudah meninggal, jadi hantu.”
“Mungkin
begitu, Pung! Darimana ya? Mengapa dia mendatangiku terus untuk minta
tolong! ” jawabku.
“ Terus rencana kita gimana, Kang?”
“Tidak
tahulah! Aku pusing pung! Sejak hantu Windi menemuiku badanku terasa capek.
Badan rasanya berat sekali. ”
“Ah,
itu efek terlalu banyak begadang! Makanya jadi pemuda itu kalau fajar, bangun
jamaah subuh! Lalu olah raga pagi, jangan tidur sampai matahari terbit!”
“Ah,
rupamu! Ngomong bloko, ra iso nglakoni!”
“He
he he…!”
Ipung
tertawa nyinyir soalnya dia kalau ada orang bicara selalu ngompori. Kalau ngomong medok kayak rebusan singkong. Tapi tidak
pernah melakukan olah raga pagi. Malah dia jarang jamaah subuh. Mendingan aku
kalau fajar ikut jamaah subuh walau jarang-jarang.
Aku
merebahkan tubuhku berharap membuang kekesalan dan kecapaian yang menggantung
di badan. Tubuh ini rasa pegal semua. Rasa badan kurang nyaman. Ipung ikut merebahkan tubuhnya dan memejamkan
matanya. Suasana pikiranku semakin adem didukung suasana emperan masjid yang
nyaman. Karena depan masjid ini tumbuh pohon menjulang tinggi dan rindang.
“Pung, ayo kita cabut dari sini mencari warung
kopi untuk membunuh penat kita! Kita ngobrol di warung kopi saja untuk menyusun
langkah selanjutnya. Kalau minum kopi pikiranku bisa encer kembali!”
“La,
itu baru cocok, Kang! Tadi pikiranku juga begitu! Kita ngobrol di warung kopi
sambil menghisap rokok dan meneguk kopi!”
“Di
daerah sini yang ada warung kopi yang enak dimana, Pung!”
“Aku
tidak menahu warung kopi di daerah sini, Kang!”
“Kalau
ada Prastowo ya, tahu warung kopi di daerah sini yang menyajikan kopi yang
nikmat! Sayang dia tidak bisa kita ajak tadi.”
“Alah,
yang penting ngopi, Kang! Terserah mau di mana!”
Aku
mulai mengingat beberapa warung kopi yang menyajikan kopi yang enak di daerah
sini.
“Oh,
ya Kang! Di depan makam kan ada warung kopi, kita ngopi di depan makam situ
saja!” kata Ipung tiba-tiba.
“Warung kopi dekat makam mana?”
“Ya,
makam desa ini! Itu lo, makam yang
menyeret kita ke masalah Windi!”
“Wah,
ide bagus itu, Pung! Ayo, kita ke sana! Nanti kita tanya-tanya tentang Windi.
Siapa tahu ada yang tahu.”
“Siap,
Ndan!”
Kami bangkit dari tidur-tiduran. Lalu beranjak
menuju parkiran masjid yang berada di sebelah samping masjid. Kemudian kami
meluncur menuju warung dekat makam tempat Windi menghilang pada malam satu Suro
waktu itu. Hanya hitungan menit saja kami sudah sampai di sebuah warung yang
sederhana yang tidak begitu luas. Kira-kira berukuran 4X5 meteran.
“Bu,
kopi dua!” Pintaku kepada perempuan
paruh baya yang sedang mengaduk-aduk tiga gelas kopi.
“Ya, Mas! Sampeyan mau kopi apa?” .
“Kopi apa ya…! Kopi hitam aja, Bu!” Aku
memilih kopi hitam karena aku merasakan aroma nikmat dan mantap saat ibu
pemilik warung ini sedang mengaduk kopi tadi “ klo kamu mau minum apa, Pung!?”
“Aku es kopi aja Kang! Es kopi campur!”
“Kopi
hitam satu dan es kopi campur satu, Bu!”
“Ya,
Mas ! Tunggu sebentar, Ya…!
“Ya,
Bu!” jawabku.
Aku
mulai memperhatikan seluruh isi rungan warung. Sementara Ipung kutak-kutik
HPnya. Pandanganku juga kulempar
sekeliling, berhenti pada pathok-pathok yang berbaris di sebuah pekuburan.
Pikiranku kembali pada malam satu Suro di mana aku bertemu dengan seorang gadis
cantik yang kini menghantui hidupku. Masih sangat jelas di mataku
kejadian-kejadian di malam satu Suro itu. Masih jelas Windi minta turun dengan
rambut basah. Masih jelas Windi menatap dalam mataku sebelum dia masuk rumah
besar berbentuk rumah joglo itu. Masih terasa tangan Windi mendekap tanganku.
“Ini,
Mas!” kata Bapak pemilik warung ketika mengantar pesananku.
Aku
tersentak dari lamunan. Kulihat di depanku seorang lelaki tua senyum-senyum
kepadaku. Meskipun umur sudah senja, bapak ini masih nyentrik saja. Aku taksir
kira-kira umurnya 60-an. Namun, penampilannya tidak mau kalah sama yang muda.
Bajunya dimasukkan dan dililit dengan ikat pinggang. Dia memakai sepatu.
Padahal anak sekolah zaman sekarang kalau disuruh disiplin dalam berpakaian
sulitnya minta ampun. Tetapi, orang ini sangat menghargai penampilan. Mungkin
beliau ini seorang pensiunan.
“Matur nuwun, Pak!” kataku.
“Iya
Mas, sama-sama!”katanya “Makan tidak ,Mas!”
“Tidak
Pak, masih kenyang! Kita Makan gorengan saja!”
Lelaki
itu melangkah pergi. Dia meraih bungkus rokok di atas meja dekat istrinya. Ditentengnnya
dan dikeluarkan satu puntung lalu dimasukkan di mulutnya. Dia mulai membakar
ujung rokok itu sambil berjalan menghampiri kami. Setelah dikepulkan seluruh
ruangan penuh asap. Lalu dia mengambil duduk di depan kami.
“Maaf Pak, saya mau nanya, boleh?”
“Silahkan
Mas, dengan senang hati akan aku jawab! Itu kalau bisa kalau tidak bisa Mas
jangan sakit hati. Heheheh… Mau nanya apa?
“Umurnya
berapa sih, pak!”
“Memang
harus dijawab to? Hahahaha..! bapak
pemilik warung ini tertawa menggoda. Orangnya humoris juga. Padahal orangnya
sangar. Berkumis tebal.
“Wah,
saya sudah tua Mas. Umur saya 70 tahun. Memangnya ada apa to?” lanjutnya.
“Tidak,
Pak! Sekadar nanya. Kata orang malu bertanya sesat di jalan. Hahaha….!” Aku
mulai mengajaknya bercanda.
“O…,
kirain ada apa!”
“Bapak,
kenal Windi?”
“Windi?
Windi, siapa ya Mas?”
“Gadis
desa sini Pak. Apa ada yang bernama Windi? Orangnya sudah meninggal.”
“Windi……!”
Pak
Shomat mencoba mengingat sejumlah nama gadis di desa sini. Pemilik warung ini
mengingat-ingat nama Windi. Suami istri itu berpandangan. Menyiratkan makna,
kalau mereka saling bertanya.
“Kelihatannya
saya pernah mendengar nama Windi. Siapa ya…? O…anak Pak lurah, Mas! Tetapi, dia
belum meninggal. Dia masih sehat jasmani dan rohani. Malah dia itu, masih
kuliah di Semarang, Mas!”
“O…mungkin
bukan anak sini, Pak!”
“Emangnya
ada apa to?”
“Tidak
ada apa-apa cuman nanya saja.”
“Warung
Bapak ini dekat makam bahkan menghadap makam, apa Bapak tidak takut?” tanyaku.
“Takut
masalah apa, Mas?”
“Maksud saya, takut kalau malam hari atau pas
ada orang meninggal yang tidak wajar misalnya.”
“Ah, biasa saja Mas! Kami sudah tua kok,
takut. Takut sama siapa? Hantu? Hantu kok ditakuti!
“Selama
di sini, apa tidak pernah menjumpai keanaehan Pak!”
“Ya,
pernah mas!” jawabnya santai dengan mengepulkan asap rokok yang menggumpal di
mulutnya. “Yang namanya dekat kuburan itu juga menyeramkan meskipun suasana
sudah terang benderang seperti zaman sekarang ini. Saya sering menjumpai hal-hal
semacam itu mas!”
“Bapak
tidak takut?” tanya Ipung.
“Buat
apa takut! Bapak sudah terbiasa. Lagipula bapak sudah tua. Orang tua itu
takutnya sama mati. Mati yang belum punya bekal untuk dibawa menghadap Gusti
Allah. Bukan takut sama hantu!”
“Kalau
yang akhir-akhir ini ada hal aneh apa pak!”
“Tidak
ada hal yang aneh, ah. Bapak itu sudah biasa bertemu kuntilanak, gendruwo,
pocong dan lain-lain. Aku anggap biasa saja.”
“Wah,
bapak ini termasuk orang yang hebat, dong!”
“Tidak
takut sama hantu kok, hebat. Hebat itu kalau waktu muda bapak hapal Alquran dan
pandai baca kitab. Bapak ini tidak bisa apa-apa!”
“Pasti
Bapak waktu muda sering lelakon?”
“Betul.
Itu waktu saya muda. Tapi sekarang, sudah aku tinggalkan. Ilmu-ilmu yang aku lakoni udah tidak aku labet lagi. Sekarang Bapak sudah tua.
Yang Bapak tata adalah hati. Karena ilmu kejadukan, kanuragan dan tenaga dalam
bagi bapak tidak ada gunanya. Ilmu-ilmu di jawa yang kelas tinggi pernah bapak
lakoni. Seperti ilmu brojo musti, pancasona, rengkak gunung, bandung bondowoso
bahkan ilmu yang digilas selender tidak apa-apa pernah bapak pelajari.
“Wah,
dulu Bapak termasuk orangnya, joss…! Seorang pendekar!”
“Ah,
biasa saja. Kalian aku lihat juga seorang pendekar!”
“Apa
maksud bapak?”
“Ah,
kalian ini pura-pura tidak tahu. Bapak yakin kalian tahu arah pembicaraan
bapak.”
“Orang
ini mata batinnya boleh juga,” batinku.
“Apa Bapak pernah bertemu hantu yang mukanya
hancur sebelah?” tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan.
“Maksud,
Mas?”
“Bertemu
hantu perempuan yang mukanya hancur sebelah. Muka yang kanan masih utuh sedang
yang kiri hancur. Baunya amis!”
“Bapak
tahu kamu ini mau mengalihkan pembicaraan. Tadi pertanyaannya apa?”
“
Apa Bapak pernah bertemu hantu perempuan yang mukanya hancur sebelah. Muka yang
kanan masih utuh sedang yang kiri hancur. Baunya amis?” Aku mengulangi
pertanyaan.
“Wah, bapak tidak pernah bertemu. Pernah dulu
bapak bertemu hantu yang mukanya berbeda. Kalau orang-orang menyebut setan
“Bangteh”
“Setan
Bangteh, itu setan apa, pak?”
“Bangteh
itu abang puteh. Muka yang sebelah
berwarna merah dan yang satunya lagi berwarna putih.”
Aku
dan Ipung manggut-manggut mendengar cerita Pak Shomat.
“Kalian ini luar biasa. Umur masih muda namun
kekuatan-kekuatan besar mengikuti kalian. Kalau kamu hidup di zaman dulu kalian
ini seorang pendekar yang mumpuni.”
“Maksud
Bapak, apa?”
Tanyaku
pura-pura tidak tahu. Padahal aku sudah bisa membaca arah pemikiran Pak Shomad
ini. Berarti mata batin orang ini boleh juga. Dia tahu semuanya tentang kami
dan beberapa kodam yang ikut dengan kami.
“Pasti
kamu tahu maksudku. Nama kamu siapa?” Pak Shomad melempar pertanyaannya kepada
Ipung.
“Ipung,
Pak!”
“Oh,
ya Kamu Ipung! Di belakang kamu itu ada seekor naga besar. Besarnya sama dengan
cerobong PLTU Rembang. Naga itu memakai mahkota di kepala. Di belakang kamu
juga berdiri pendekar-pendekar dengan ilmu tinggi.
“Kamu
namanya siapa, tadi?”
“Arkian,
Pak!” jawabku.
“Sedangkan
kamu Arkiyan, belakang kamu ada orang tinggi besar tampan. Dia memakai pakaian
raja. Di belakang kamu juga ada seekor macan yang besar. Juga ada ular hitam
besar. Saking besarnya aku tidak tahu mana kepalanya mana ekornya. Aku tahu
kalian menjajaki kemampuanku. Kalian tadi menutup semua dari pandanganku. Ya,
kan?”
“Ah,
Pak Shomad ini ada-ada saja!” selonohku.
“Masak
begitu, Pak!”
Kami
berdua masih pura-pura tidak menahu keadaan kami. Memang aku sering di datangi Prabu Kembang Joyo
dan makhluk-makhluk yang disebut Pak Shomad tadi.
“Kalau
orang awam melihat kalian ini biasa. Tapi kalau orang punya kemampuan orang itu
akan hormat kepada kalian.
Kami
senyum-senyum menanggapi ucapan Pak Shomad.
“Pesen
saya kalian harus selalu hati-hati, ya?”
“Maksud
Bapak!”
“Kalau
ada apa-apa jangan marah, jangan gondhuk karo wong! Kalau kamu marah
atau benci sama orang, odam-kodam yang ada di belakangmu juga ikut benci.
Sehingga mereka bisa mencelakai orang yang kamu benci itu.”
“Geh,
Pak! Matur nuwun nasehatnya. Maafkan kami tadi lo Pak, telah berusaha menutup
pandangan mata batin Bapak.”
“Ya,
Mas tidak apa-apa! Itu menunjukkan kalau kalian ini pemuda yang baik. Kalian
sopan. Santun. Kalau tidak kalian pasti menyombongkan diri.”
Memang
tadi aku memberi kode kepada Ipung untuk menutupi apa yang ada di tubuh kami biar
tidak terlihat oleh Pak Shomad. Tetapi, Pak Shmad tahu juga. Malah mampu
menerobos pagar penghalang kami.
Posting Komentar