Purnama Tenggelam di Jembatan Tua
Cerpen :  Pak Guru Top 

Angin sesekali menerpa aku yang duduk sendiri dalam lautan sepi. Aku menerawang menatap bulan. Namun, Pikiran  dan perasaanku melayang jauh...... Entah, sedang ada di alam mana aku ini. Kakiku memang mengijak bumi. Akan tetapi, jiwa dan ragaku tidak ada di sini. Jiwaku mengembara jauh...di negeri asing, negeri antah berantah. Nafsu hidupku telah mati. Bahkan aku tidak tau siapa aku ini. Aku tidak tau apa yang terjadi dalam diriku ini. Aku tidak tau untuk apa hidup ini. Semua terenggut begitu cepat seperti datangnya banjir tempo hari.
Setiap  malam ku habiskan waktuku untuk duduk-duduk sendiri di sini, di jembatan tua ini. Mengenang saat-saat kebersamaan. Di jembatan tua inilah saksi bisu perjalanan cintaku dengan dia. Di jembatan inilah cerita termulai dan terakhiri.Di sini, malam ini, aku mencoba mengais kenangan masa lampau yang akan hilang dan bahkan akan tenggelam.Kenangan-kenangan yang indah itu harus tertimbun oleh batu-batu kerikil yang tajam.Mimpi-mimpi indah yang terbangun harus hancur berserakan seperti rumah-rumah orang Palestina di Gaza yang dihantam rudal-rudal Israel. Sunggguh mengharukan dan sangat disesalkan.
Sekarang ini, aku sudah tak perduli lagi, pagi esok hari. Berbeda waktu-waktu dulu, selalu kuharap pagi dan berlomba dengan matahari untuk membangunkanmu dari mimpi yang indah dalam tidurmu setiam malam.
“Hallo sayang... Sudah siang nih..... Masak, kalah dengan ayam. Ayam za.. udah bangun sebelum subuh tadi. Ayo, bangun! Kita subuhan bareng....!”bicaraku lewat telepon.
Kadang dia yang membangunka aku lewat telepon, “Cayang….bangun dong…! Udah subuh nih..! Yok,  kita subuhan bareng...!
Atau kadang lewat SMS:
“Yanx, dah bngun pa lom.... Ni, aqu udah ganteng. Mau ke masjid, nich...! Amu bngun ya…. Aqu, subuhan dl ya…! Assalamualaikum.”
Atau kalau dia yang SMS duluan:
“Yanx, dah bngun pa lom....ni istrimu udah cantix, dah ciap mw brngkat ke mushola. Bngun, a yanx...! Aqu, brngkat ke musholla dulu, y? Emmmmuach.... !”
Memang orang yang dimabuk asmara bagaikan orang gila. Betul kata Jamal Mirdad dalam lagunya “Gula jawa rasa coklat.” Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, waktu begitu indah, bahkan sangat indah. Begitu bahagia, sungguh sangat bahagia.  Jiwa selalu terbang, selalu melayang-layang di atas awan. Tidak perduli siang atau malam. Rayuan selalun berkumandang. Kalau dia nelepon harus menyediakan waktu berjam-jam. Bayangakan. Kalau tidak, dia akan ngambek dan sebagai gantinya aku harus merayunya, mengeluarkan kata-kata puitis untuk meluluhkan hatinya . Indah sungguh indah. Mesra sungguh sangat mesra.
Kami berdua juga harus saling tau, “dimana, sedang apa, sama siapa”. Pokoknya kalau menurut bahasa jurnalistik unsur 5 W + 1 H harus terpenuhi, bahkan harus lengkap dan melekat. Harus ada laporan baik lesan maupun tulisan, baik lewat telepon atau kirim pesan singkat jika diantara kami yang bepergian atau sekedar dolan ke rumah teman atau tetangga. Pernah suatu hari aku pergi ke suatu tempat, tetapi  lupa tidak pamitan. Saat itu aku ditanya “ yanx, gi dmn?” aku balas: “ni..q gi di Pati.” wah,... langsung perang, gara-gara aku lupa pamitan. Dia langsung memarahi aku habis-habisan. Kemudian aku mengeluarkan jurut maaf dan rayuan untuk meredam kemarahannya.
Begitu indah dan sempurna hari-hariku waktu itu, saat awal memadu kasih. Berdua  bersama berjam-jam habiskan waktu. Begitu sempurna angan-angan yang terbangun. Rencana  membangun mahligai rumah tangga, membangun rumah kecil yang indah dan bahagia. Rumah yang terdapat taman bunga. Rumah untuk berkejar-kejaran anak kita. semuanya masih jelas  terekam dalam jiwa dan tampak di pelupuk mata. .
Malam  ini aku hanya ditemani oleh bulan. Bulan purnama itu tampak separo. Sinarnya redup bagaikan sinar cintanya kepada ku yang muram dan hampir tenggelam.Suara jengkrik merayap menusuk-nusuk telinga menyayat-nyayat pilu batinku memutar lirik lagu saat-saat kebersamaan aku dan dia. Bayang-bayangnya begitu terasa tebal dan kental membakar memori ingatanku. Keindahan yang tercipta dulu, gelak tawa yang terlepas dulu, harapan-harapan yang terucap dulu, mengais-ngais, mengiris-iris, dan mengoyak-ngoyak batin dan jiwaku. 
Satu minggu yang lalu dia masih disini menemaniku. Kami bersama menatap bulan yang redup tanpa sepatah kata. Waktu itu kami sedang berseteru. Kami saling menyalahkan. Kami saling menuduh. Kami saling menjatuhkan. Kepercayaannya kepadaku luntur. Begitu juga aku, aku mulai meragukan kesetiaannya. Dia telah mulai berpaling dariku. Dia secara diam-diam menyimpan yang lain dalam hatinya. Dia  telah mengkhianati aku. Dia  telah perpaling dariku. Akhirnya, kami sepakat pisah untuk selama-lamanya.
Kini hanya  pedih dan derita merayap dalam sukma. Cita-cita hancur berkeping . Harapanku pupus sudah. Hudupku sudah tidak punya arah. Kapalku sudah tidak tau lagi ke mana harus berlabuh. Lautan hatinya telah mengering. Padahal, lama sudah kami bersama dalam genggaman cinta. Mengisi waktu dalam suka dan duka. Melalui hari dengan sempurna. Tanpa ada cela dan dusta.
Aku tidak tau apa yang terjadi nanti dalam diriku tanpa keberadaanya. Sebetulnya aku belum siap kehilangan dia. Aku akui dia sangat berarti dalam hidupku. Aku tidak tau, aku bisa hidup tanpa dia ada disisihku atau tidak. Satu hari tanpa dia sangat berat. Tapi harus bagaimana lagi aku tidak bisa pertahanan hubungan ini. Karena Kita sudah tidak ada kesepahaman. Dia telah menuduh aku telah mempermainkannya. Dia menuduh aku tidak setia. Padahal hati ini hanya miliknya. Demi Allah aku cinta dia, aku sayang dia. Tidak ada perempuan lain di hati ini selain dia. Tapi, apa balasnya? Dia begitu sempurna menutupi kebohong-kebohongan dalam manja-manjannya. Janjinya, sumpahnya hanya tameng saja.
Memang aku akui, sudah beberapa kali aku kepengin pergi jauh darinya. Tapi aku tidak bisa. Mungkin, empat kali aku bilang pisah kepadanya. Namun, cintaku tak merelakan untuk pergi darinya. Aku tidak tega melihat tangisnya. Aku tak tega meninggalkannya. Setiap aku mengucap putus, dia memohon untuk memaafkan kesalahannya. Kemudian dia meng-SMS aku, menelpon aku.Dia mengajak ketemuan. Dia memohon belas kasihan.  Dia merengek agar aku menerimanya lagi dan mau memaafkan kesalahannya. Cinta yang ada dalam diriku membuat keselahannya luluh lantak dan hancur lebur di mataku sehingga menumbuhkan belas kasihku akan dirinya. Aku  terima dia kembali dengan mengajukan syarat kesetiaan. Akhirnya, kami melangsungkan hubungan.
Seiring perjalanan waktu, hubungan kami terseok-seok lagi. Tidak ada keharmonisan lagi. Tidak ada kecocokan antara kami. Semua kepengen pegang kendali. Ya, walau dengan berat hati kita sepakati untuk pisah selam-lamanya. Dengan alasan tidak ada jalan buat kita. Kali ini kemauannya. Aku hanya meluluskan permintaannya. Biarlah kita berpisah. Mungkin ada jalan buat kami tanpa bersama.
&&&&&&&&
 Sudah sebulan aku dan dia tidak ada komunikasi. Rasanya hidup berat sekali. Jujur saja, andai saja dia mau kembali kepadaku. Aku akan menerima cintanya lagi. Aku akan melanjutkan hubungan lagi. Tapi sekarang, kabar beritanya tidak aku tahu.. Gelak tawanya tidak hadir lagi. Tangisan kecemburuan tidak aku dengar lagi. Mungkin dia telah siap pergi jauh meninggalkan aku. Sehingga dia tidak pernah hubungi aku lagi. Kalau dulu-dulu saat aku putuskan cintanya, setiap detik, setiap menit dia telepon aku,  bahkan aku tidak bisa aktifitas karena dia menelponku terus-menerus. Dia tidak akan menyerah kalau aku tidak mengangkat teleponnya. Jika HPku, aku matikan dia kirim sms lebih dari seribu pesan yang mengungkapkan isi hatinya. Tapi kini...
Mungkin dengan duduk di sini, di jembatan tua ini aku bisa merasakan kehadirannya. Aku bisa menghapus rinduku padanya dan aku mampu melupakan dia selama-lamanya. Memang, aku telah bertekat untuk hidup tanpa dia. Tapi aku tidak bisa. Suka-dukaku bersama dia, semakin kuat mencengkeram memori-memori otakku ini. Masuk dalam hati. Lembar demi lembar kenangan saat bersama  terbuka dan menancap kuat dalam dada. Keindahan saat bersama muncul bergantian. Saat bersama menghabiskan waktu jalan-jalan, internetan, semua terekam jelas. Senyummu, gelak tawamu, cemburumu dan semua tingkahmu tayang bergantian dalam ingatan. Jelas  dan nyata.
Aku pandangi bulan purnama itu. Sinarnya yang terang, sebuah bulan yang indah. Namun sinar itu menghilang di balik awan. Mendung kian menebal menelan badan bulan.
Sesekali handponku, aku buka walaupun aku tau tidak ada pesan masuk di dalamnya. Aku sangat rindu dirinya. Rindu  SMS-nya. Rindu teleponnya. Aku rindu kehadirannya. Ingin rasanya aku menelepon dia atau mengirim SMS dia untuk menanyakan keadaannya. Tetapi, egoku menghalaunya.
Kudengar kokok ayam bersahut-sahutan. Rupanya pagi akan menggantikan malam. Sudah hampir enam jam aku duduk di sini, duduk sendiri di jembatan tua ini. Aku putuskan untuk pulang. Sesampai di rumah aku merebahkan tubuhku perlahan di kasur kesukaanku. Kasur inilah yang sealu menemaniku setiap hari satu bulan ini. Selama aku putus dengan dia aku malas melakukan aktivitas. Aku hanya mengurung diri di kamar. Baru akan kumemejamkan mataku, Hand Phone ku berbunyi, ada pesan masuk. Siapa gerangan dini hari begini kirim pesan? Ah, paling-paling pemberitahuan dari Telkomsel atau ucapan selamat dari seseorang yang sengaja mengirim SMS modus hadiyah. Tapi aku jadi penasaran……  aku berharap SMS itu dari Devi. Aku  langsung bangkit dari tempat tidur. Ternyata benar SMS itu dari Devi dia mengajakku balikan lagi. Besok dia mengajakku ketemuan di Flash Net, warung internet dekat jembatan Wedarijaksa.
“Ya..Allah bagaimana ini…? Memang aku berharap dia kembali lagi kepadaku tetapi perasaan ini kenapa gelisah dan takut begini? Haruskah aku terima dia lagi? Memang aku akui iku masih cinta dia. Aku masih sayang dia. Kalau aku terima dia lagi, dimana harga diriku sebagai laki-laki?”
Masalah ini harus aku putuskan malam ini juga. Kemudian, aku berusaha menggali untung dan ruginya jika hubunganku dengan Devi tetap berlanjut. Seandainya, dia jadi istriku kemudian dia menyimpan pria lain, di mana akan aku taruh mukaku? Baiklah Dev, aku akan melupakanmu. Aku akan bangkit dari keterpurukan ini. Pantang sebagai lelaki menelan ludah sendiri. Aku akan kuat meskipun hidup tanpamu. Akan ku cari seribu keburukanmu untuk melupakanmu. Itulah, pondasi untuk melupakanmu.

Dengan keinginan yang menggebu dan emosi yang meluap-luap kukirim sebuah SMS ke Devi “5af, bsok n slmnya aqu tdk bisa brtmu, karena PURNAMAKU SUDAH TENGGELAM DI JEMBATAN TUA.”

Posting Komentar

 
Top