Cinta Pertama Awal Februari
Matahari sudah bersembunyi di punggung Muria. Sisa sinar yang ditinggalkan membentuk siluet
jingga menghias angkasa. Gumpalan awan-awan putih bergerak beriringan mempercantik
panorama. Sungguh indah. Muria juga terlihat berdiri begitu gagahnya. Namun
keindahan itu tidak berlangsung lama, gumpalan-gumpalan awan putih mulai berangsur menghilang. Petang perlahan
datang. Azan Magrib pun berkumandang. Seruan Illahi itu menggema di langit keluar
dari corong-corong masjid dan mushola.
Setelah membaca doa mendengar adzan, aku
bergegas menuju ke sumur depan rumah untuk mengambil wudhu. Tanpa menunda waktu
aku menunaikan sholat maghrib 3 rakaat. Seperti
biasa setelah sholat magrib aku pergi mengaji. Walau air menutup jalanan, senja ini aku tetap bersemangat pergi mengaji.
Entahlah, yang pasti ada sedikit dorongan dalam jiwa yang memaksaku untuk
cepat-cepat pergi ke rumah Kyai Badrun, guru ngajiku. Hanya hitungan menit saja
aku sudah sampai di rumah Kyai yang berpengaruh di desaku itu karena jarak rumahku dengan rumah beliau
cukup dekat. Hanya ratusan meter jaraknya.
Kulihat rumah beliau tampak sepi. Tidak
satu pun aku jumpai teman mengaji. Padahal, biasanya puluhan pemuda dan remaja
di desaku meramaikan rumah besar joglo itu dengan lantunan kalam Illahi.
Mengapa malam ini tidak ada teman yang
mengaji? Aku mencoba mencari jawaban lewat istri Kyai Badrun. Ternyata, Kyai
Badrun belum pulang dari berkunjung ke rumah temannya. Pantesan saja, teman-temanku
sudah pada buyar semua.
Biasanya,
kalau kekosongan ngaji seperti ini, aku dan teman-teman pergi ke masjid. Karena
masjid dekat dengan rumahnya Nyai Saedah, seorang guru ngaji gadis-gadis
desaku. Biasa, anak muda. Untuk itu, aku bergegas mau menuju ke masjid untuk
menyusul teman-teman. Aku membayangkan Joko, Ma’ruf, Syarif....dan teman-teman
yang lain. Joko yang pendiam dan sok alim itu tentunya sudah berada di bawah
kelapa belakang rumah Nyai Saidah bersama Purwanti.
Sedang, di masjid Ma’ruf, Syarif, dan Darso
berlarian ke sana ke mari, dikejar Mardi dengan mengacungkan sapu. Mereka bertiga dikejar Mardi karena menggoda Mardi
yang…
“Kang, tunggu!” ada suara berteriak
memanggilku.
Kuhentikan langkahku. Aku menoleh kepada
seorang gadis yang memanggilku. Walau hari sudah gelap, tetapi aku hapal betul
siapa pemilik suara itu. Dia adalah
Sarah. Gadis cantik anak Kyai Badrun.
Sarah umurnya 3 tahun lebih muda dariku. Dia anak pertama Kyai Badrun. Gadis
berkulit putih ini selalu menjadi topik perbincangan diantara kami.
“Oh… kamu tho Dik Sarah, ada pa?” aku menjawab sambil menatap wajah gadis
periang yang terlihat senyum-senyum kepadaku.
“ Kang Narto akan pergi ke masjid, kan?”
Sarah bertanya kepadaku dengan menahan napas seperti dia habis berlari jauh.
“Iya, Dik! memangnya kenapa?”
“Boleh dak, aku bareng Kang Narto?”
“Ayo…!”
Kemudian aku dan Sarah jalan bareng. Dia
berjalan di sebelah kananku. Jantungku berdegup tak menentu sesekali Sarah
memegang pundakku untuk menahan keseimbangan badannya. Karena berjalan di atas
air, Sarah harus menjijing ondernya agar tidak tercelup. Maklumlah ini awal
bulan Februari. Ini musim penghujan. Desa kami sudah langganan banjir tiap
tahunnya. Untung tahun ini air datang hanya setinggi lutut anak kecil. Kalau
dua tahun yang lalu, kami terpaksa harus mengungsi karena air datang setingggi
2 meter. Kami sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini.
Sarah bersikap seperti itu, mungkin Sarah
menganggap aku kakak. Makanya dia biasa dengan aku. Sejak kecil aku sudah biasa
di rumahnya. Selain bapaknya saudara jauh dengan ibuku, aku juga sering dimintai
Kyai Badrun untuk bekerja di sawah. Memanen pagi, tempah, daut
dan lain-lain. Saat berjalan, kaki Sarah yang selama ini disembunyikan dengan busana
muslimnya dapat aku nikmati lewat lampu jalanan yang dibiaskan air. Kulihat
secara sekilas kakinya tampak putih dan bersih. Namun, dengan cepat kualihkan
pandanganku ke lampu jalan. Sarah adalah putri guru ngajiku. Aku harus
menghormati Sarah.
“Kang….!
Boleh gak aku bertanya sama Kang
Narto?”
“Boleh! Kamu mau tanya apa?”
“Ah, tidak jadi Kang! Kapan-kapan saja.!”
“Lo.... Kenapa tidak jadi?”
“Malu”.
“Malu? Sama siapa?”
“Enggak Kang ah, takut!”
“Kok, takut! Takut sama siapa? Tidak ada
orang kok!”
“Takut dengan Kang Narto!”
“Takut sama saya? Emangnya Kang Narto
kuntilanak. Jangan bikin penasaran dong! Ayo, ngomong!”
“Kang…..!” Sarah menghentikan
pembicaraan. “Seandainya ada gadis yang suka sama kamu, Kang Narto terima pa,
gak!”
“Ah, adik ni ada-ada saja. Siapa yang
suka sama aku?”
“Ya ada, bahkan banyak…! Jawab aja Kang, cinta
cewek itu kamu terima apa tidak, Kang?”
Aku menghentikan langkah persis di bawah
lampu jalan. Aku menatap wajah Sarah. Dia tertunduk.
“Dek, kalau ada yang suka sama aku, aku
akan terima dengan sepenuh hati. Aku beruntung ada gadis yang cinta padaku.”
“Betul, Kang?”
“I…ya! Terus, siapa gadis yang suka
padaku?”
“Ada dekh!
Udah, dulu ya Kang, adek ngaji dulu! Nanti kita pulang bareng,
tunggu adek ya!? Nanti aku kasih tau. Oke! Awas kalau pulang duluan!” kata
Sarah sambil lari meninggalkanku.
Rupanya kami sudah berada di depan rumah
Nyai Saedah. Sarah masuk rumah guru ngaji itu seperti dikejar setan saja.
“Insyaallah…akan aku tunggu, Sarah!”
jawabku meskipun dia sudah masuk rumah besar yang berdiri gagah di samping
masjid.
Kulangkahkan kaki menuju ke masjid.
Ternyata, di masjid tidak ada satupun teman yang aku jumpai. Di mana mereka? Namun, aku sudah tidak
memperdulikan teman-temanku lagi. Aku juga tidak ingin tahu keberadaan mereka.
Yang aku pikirkan kata-kata Sarah. Aku penasaran dengan kata-katanya tadi.
Siapa gerangan gadis yang suka dengan aku? Mungkinkah Sarah sendiri yang suka dengan aku? Atau
mungkinkah ada gadis lain yang suka aku tapi tidak berani mengatakan, kemudian
dia menyuruh Sarah untuk mengatakan kepada aku?
“Sarah, Sarah…. kata-katamu bikin aku kepo saja!”
Sudah setengah jam aku menunggu Sarah, rasanya lama
sekali. Ingin kuputar saja jam yang bergelantung di masjid biar aku cepet-cepet mendengar jawaban dari gadis
yang memiliki lesung pipi itu. Perasaanku dicekam gelisah. Penasaranku
membuncah. Kupelototi terus pintu rumah Nyai Saidah. Berkali Aku mondar-mandir
di teras. Bahkan aku beberapa kali masuk kamar mandi meskipun tidak berniat
buang hajat. Tadi aku sempat ditanyai Lek Tarwi gara-gara aku mondar-mnadir
seperti orang gelisah.
“Udah Kang, yuk kita pulang !”
Kemungkinan begitulah kata-kata Sarah
yang aku tangkap keluar dari mulutnya. Meskipun
posisi aku dan Sarah agak jauh, dia di teras rumah Nyai Saedah sementara
aku diteras masjid aku bisa memahami apa
yang diucapkan Sarah. Aku balas ajakan Sarah dengan tundukan kepala dan isyarat
mata.
Sebelum berdiri kupandangi dulu satu
persatu wajah para bapak di masjid terutama wajah Mbah Sumo karena beliau yang
kuajak ngobrol. Mbah Sumo ini teman
Mbahku dari kecil. Beliau ini lah orang yang pertama panggil aku “Narto”,
katanya, karena wajahku mirip si mbahku, Sunarto Joyo Mulyo. Akhirnya
teman-teman dan orang-orang memanggil
aku Narto. Padahal namaku sebenarnya adalah Muhammad Zulfikar Nur. Dari sejak
kecil aku sama sekali tidak pernah melihat wajah Mbah Narto. Seingatku Mbah
Sumo memberi aku nama itu ketika aku masih kelas 6 SD. Waktu itu aku dan teman-teman bercakap-cakap di
teras masjid habis tadarus Alquran, datang Mbah Sumo bergabung dengan kami,
menawarkan cerita. Beliau juga bercerita tentang Mbah Narto dari kecil, muda
sampai meninggal.
Tanpa meminta izin kepada Mbah Sumo dan
bapak-bapak yang lain, Aku bangkit dari duduk. Kulangkahkan kaki menuju ke
tempat wudlu untuk mengalihkan perhatian mereka. Setelah membasuh muka, aku
bergegas mendekati Sarah yang sudah berdiri mematung di jalan.
“Teman- teman ngajimu, mana?”
“Udah
pada pulang semua, Kang! Aku mendapat antrean paling belakang!
“Tidak ada yang bareng kamu?”
“Tidak ada! Karlina, Evi dan teman-teman
yang lain cepat-cepat pulang takut air naik lagi.”
“ Syukurlah kalau begitu!”
“Apa, Kang?”
“Tidak, apa-apa!”
Aku mengeluarka kata-kata kegembiaraanku.
Untung Sarah tidak mendengar. Jika teman-teman Sarah sudah pulang semua, berarti tidak ada yang
mengganggu pembicaraan aku dengan Sarah. Baguslah kalau begitu. Berarti peluang
luas untuk bertanya padanya tentang gadis yang tertarik kepadaku.
Walau sebentar lagi adzan isya’, aku
tidak menunggu sholat jamaah di masjid. Tanggung. Soalnya hati ini sudah tidak
bisa terbendung untuk mengetahui seorang cewek yang memberi harapan kepadaku. Aku betul-betul
sudah penasaran. Ingin mengungkap siapa gerangan cewek yang suka kepadaku itu.
“Ayo, kita pulang!” kataku.
Namun Sarah tidak segera menjawab. Dia
malah menatapku. Aku jadi grogi dan deg-degan.
“Dik….., katanya mau pulang!”
Aku sengaja mengulangi kata-kataku untuk
membuyarkan tatapan matanya ke wajahku.
“Oh… iya Kang, ayo kita pulang!” jawabnya
agak gugup.
Seperti ketika berangkat tadi, kali ini kami
berdua juga berjalan berdampingan. Bedanya, kalau saat berangkat Sarah berada
di sebelah kananku sementara kali ini dia berada di sebelah kiriku. Namun kami
dibungkam kesepian. Lebih-lebih Sarah. Dia semakin diam. Entah mengapa gadis
manja ini tiba-tiba diam. Padahal dalam pergaulan kulihat dia selalu banyak
memiliki pembicaraan.
Aku belum berani membuka pertanyaan atas
kata-kata Sarah yang membuat aku penasaran karena aku grogi. Sarah selalu
memperhatikan aku, bahkan terkadang menatap aku lama. Kutarik napasku aku
mencoba menghilangkan grogi dan debar di dada.
“Dek, katanya tadi mau ngasih tau aku siapa gadis yang suka
padaku, siapa gadis yang suka padaku, Dek?” kataku setelah mampu mengusir grogi
dan degdegan kumulai buka pembicaraan.
“Kang Narto pasti tau siapa gadis itu!”
“Lo, mana aku tau? Kan belum kamu kasih
tau!”
“Aku tanya sama kang Narto, apakah Kang
Narto mau terima gadis itu?”
“Wah, akan Kang Narto terima dengan
senang hati!”
“Tapi, orangnya jelek Kang!”
“Tidak masalah…..! Bagi Kang Narto muka
tidak masalah yang penting hatinya. Fisik manusia hanyalah bungkus saja.
Kecantikan fisik kalah jika dibandingkan dengan kecantikan hati.”
“Betul, Kang?!”
“I..ya...!”
“Sumpah?”
“Sek…sek…sek! ono opoiki kok pake
sumpah segala!”
“Ora ono opo-opo, Kang ah....!”
kata sarah sedikit malu. “Apa Kang Narto mau mencintai gadis itu dengan sepenuh
hati?” lanjutnya.
“Insyaallah, akan aku cintai sepenuh
hati. Katakan siapa gadis itu?”
“Aku kang, aku gadis itu! Aku yang suka
Kang Narto!”
Kata-kata Sarah langsung menusuk hatiku.
Gadis cantik itu menatapku lama dan dalam. Hatiku jadi tak menentu. Tiba-tiba
jantungku bergetar keras. Inikah yang disebut cinta? Ya, mungkin ini ruh cinta
singgah di hatiku.
Aku sudah menduga. Pasti Sarahlah gadis
itu. Karena dari cara dia bicara, cara dia menatap aku dan begitu semangatnya mendengar
jawaban-jawaban dari aku. Tidak hanya kali ini saja. Tetapi pada saat aku dan
teman-teman ngaji, dia sering menatapku lama dan sangat dalam. Sempat aku
pernah menangkap tatapan mata itu. Tetapi aku tidak berani menyimpulkan. Aku
tidak berani menerjemahkan. Aku akui, aku juga suka pada Sarah. Tetapi aku
tidak berani mengungkapkan. Karena dia anak seorang kyai. Sedang aku ini, anak
seorang kuli. Status sosial kami bagaikan sumur dan langit, yang sangat jauh
jaraknya.
“Kalau kamu yang suka sama aku, aku tidak
berani, Dek! Aku harus ngaca diri. Siapa kamu dan siapa aku. Status sosial kita
jauh….! Dinding pemisah akan menutup langkah kita, Dek!”
“Kang! apa cinta itu memandang harta dan
kedudukan seseorang?”
“Tidak!”
“Apa mencinta itu karena status sosial
seseorang?”
“Ya, tidak!”
“Lalu, apa yang kamu sangsikan, Kang!”
Aku diam. Kupandang air yang
bergerak-gerak di jalan yang sepi. Meskipun belum ada adzan Isyak jalan tetap
sepi. Agaknya orang-orang enggan keluar rumah karena jalanan ditutup air. Mereka
memilih diam di rumah, menonton TV dan minum kopi, bersama anak dan istri.
“Kang, lihat aku!” katanya ketika aku
tertunduk dan tidak segera memberi jawaban. ”Aku tidak peduli semua itu, Kang!
Yang Aku butuh adalah cinta dari Kang Narto! Yang bisa membuat aku damai dan
teduh hanya Kamu, Kang! Hanya, Kamu!” bicara Sarah meluap-luap.
Mungkin Sarah terpengaruh film sinitron
dan telenovela. Atau kisah-kisah yang pernah dibacanya. Cinta tidak hanya
diucapkan. Ringan di mulut berat dilaksanakan. Sarah berbicara begitu karena
masih terpengaruh dalam halusinasi kehidupan. Dia sangat polos. Belum tahu
kerasnya roda peradaban. Belum tahu
panasnya zaman. Memang, Allah sudah mengatur roda kehidupan seseorang.
Kaya miskin seseorang sudah ada dalam garis takdirnya. Namun, manusia tidak
bisa membaca hari esok. Untuk itu harta dan kedudukan diperlukan dalam bertarung
dalam laga kehidupan. Lagian aku belum bekerja dan belum mapan.
“Kalau yang Kang Narto persoalkan masalah
status sosial, status sosial kita sama. Malah Kang Narto lebih tinggi dari
saya!”
“Dek, status sosial kita beda. Bapakku kuli sedangkan bapakmu kyai.
Memang kita masih saudara tetapi sudah jauh dalam sosial kemasyarakatan . Kalau
istilah orang Jawa kita itu saudara misan. Karena orang tua Eyang Kamu
itu adiknya Eyangku. Tetapi, sekarang orang memandangnya orang tua kita bukan
Eyang kita. Saudara misan tidak boleh
menjalin hubungan apalagi sampai ke pernikahan itu menurut orang Jawa.”
“Tetapi aku tidak peduli dengan omongan
orang, Kang! Kang Narto bersekolah di pesantren, kan? Tentunya Kang Narto tahu
bahwa agama kita, saudara misan tidak ada larangan perkawinan!”
suara Sarah semakin meninggi.
“Cinta
itu mudah diucapkan, Dek! Tetapi berat dilakukan. Karena masih banyak yang jadi
pertimbangan. Aku tidak berani mencinta kamu karena ilmuku baru sekuku. Jauh
dibanding abahmu. Aku tidak mau mengecewakan beliau. Aku harus menimbang diri.
Seharusnya yang berhak mendapat cintamu itu pemuda yang ganteng, pintar, bisa
membaca kitab dan dia anak orang kaya atau pemuda itu hapal Alquran.”
“Aku tahu Kang, Kamu tidak suka aku! Kamu lebih mencintai
Lilis daripada aku. Pasti kamu cari alasan untuk menolakku. Kamu mau pulang
bareng aku karena kamu beranggapan bahwa aku di suruh Lilis, untuk menyampaikan
kabar ini kepada kamu, kan?
“Dek, aku dengan Lilis itu hanya temenan
sama dengan aku dengan kamu!”
“O, berarti kamu menganggap aku temen!
Kang Narto tidak melihat perhatianku selama ini? Kang Narto tidak memahami
perasaanku?”
“Bukan begitu, Dek! Aku…!”
“Sekarang, aku tanya pada Kang Narto!
Kamu cinta atau tidak , titik! Aku butuh jawaban bukan alasan!” potong Sarah.
“Aku jawab besok, ya!”
“Tidak! Aku butuh jawaban malam ini juga!
Kalau tidak malam ini tidak selamanya!” Suaranya meledak.
“Aduh, gimana ya, Dek! Ini pilihan yang
sulit!”
“Sulitnya dimana? Tinggal jawab doang,
suka atau tidak, bereskan!”
Aku diam.
“Baiklah, kalau Kang Narto tidak menjawab!
Berarti Kang Narto lebih mencintai Lilis daripada aku, aku pulang dulu!”
katanya singkat.
Sarah tidak juga beranjak pergi. Mungkin
menunggu jawabku.
“Assalamualaikum!”
katanya ketika aku tidak segera menjawab
“Waalaikum salam ….!” Jawabku refleks.
Sarah melangkah meninggalkan aku. Sementara
aku masih diam mematung. Bingung menjawabnya. Jujur saja aku juga suka pada
dia. Akan tetapi aku menghormati Kyai Badrun. Aku tidak berani kepada beliau.
Sarah putri beliau. Aku harus menjaga kehormatan keluarga beliau. Termasuk menjaga
kehormatan Sarah. Kecuali kalau Kyai Badrun sendiri yang suatu saat nanti menawari
aku untuk menikah dengan putrinya. Kalau tidak, aku takut. Nanti, keikhlasan
yang selama ini deberikan kepadaku menjadi rusak. Aku tidak mau itu. Aku ingin
hidupku diliputi barokah dan keikhlasan dari seorang guru. Ilmu-ilmu yang
kuterima dari beliau agar bermanfaat.
“Eh, Dek Sarah…tunggu dulu!”
Sarah menghentikan langkahnya. Dia
berbalik ke arahku. Wajahnya sumpringah. Aku baca ada pengharapan besar dalam
hatinya. Dia menatap aku dengan senyum manjanya.
“Aku antar pulang, ya!”
Mendung seketika menyelimuti wajahnya.
Dia kembali berbalik dariku. Kelihatannya dia betul-betul marah padaku. Langkah
kakinya dihentakkan keras ke air. Dia tidak peduli walau setiap hentakan
kakinya membuat air memercik ke gamisnya.
“Dek Sarah, tunggu!”
Sarah tidak menghiraukan teriakanku. Langkah
kakinya semakin dipercepat. Aku berlari
menerjang hamparan air untuk menyusulnya. Walau sarungku basah, aku tidak
peduli.
“Dek….Kang Narto juga cinta pada kamu!”
Seketika Sarah menghentikan langkahnya. Aku
mengucap itu karena aku tidak tega menyakiti hatinya. Lagi pula aku ingin
menutup hatinya kepada Joko. Kasihan Sarah kalau patah hati dariku lalu
menerima cinta Joko. Padahal Joko seorang pemuda play boy.
“Alah… tidak percaya! Kang Narto hanya
ingin menyenangkan hatiku!” katanya tanpa membalikkan badannya. “Kalau Kang
Narto cinta padaku, ulangi lagi kata-kata tadi!”
“Baiklah, tapi Dek Sarah membalikkan
badan dulu, ya!”
Kemudian Sarah membalikkan tubuhnya.
Matanya menatap mataku dengan judes.
“Ya, Dek…! Aku cinta pada kamu!”
“Padamu sopo?!”
“Dek Sarah!”
“Dek Sarah sopo?”
“Dek Sarah binti Bapak Kyai Haji Muhammad
Badrun!”
“Ulangi lagi secara lengkap!”
“Aku cinta Dek Sarah binti Bapak Kyai
Haji Muhammad Badrun!”
“Apa betul, itu Kang?”
“Iya..! Betul!”
“Sumpah…!”
“Sumpah!”
Mata sarah berbinar binar. Purnama
kembali hinggap pada wajahnya. Keceriaan dan manjanya melebihi sifat aslinya.
“Alhamdulillah….! Kang, yuk ke rumahku nanti
aku buat alasan ke ibu kalau aku ada PR Matematika!”
Kemudian aku berjalan mengikuti Sarah. Sampai
di rumahya kulihat Kyai Badrun sudah berada di rumah. Gemetar rasa tubuhku. Dengan
cepat, kulangkahkah kakiku menjauh dari rumah besar itu.
Posting Komentar